Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang sebagai solusi besar untuk meningkatkan kualitas gizi anak bangsa, menurunkan angka stunting, serta membangun generasi emas di masa depan. Di atas kertas, program ini terdengar mulia. Angka-angka yang ditampilkan pemerintah pun begitu indah, jutaan penerima manfaat, triliunan rupiah anggaran, serta klaim-klaim akan meningkatnya indeks pembangunan manusia. Namun, di balik angka-angka itu, terdapat jurang yang lebar antara retorika dan realita yang dirasakan rakyat kecil.
Dalam laporan resminya, pihak pengelola menyebutkan bahwa indeks kepuasan publik mencapai 82%, angka partisipasi meningkat, dan manfaat program sudah merata hingga pelosok. Angka-angka ini sekilas membuat publik percaya bahwa program berjalan baik. Namun, begitu menelusuri fenomena di lapangan, kenyataan justru memunculkan tanda tanya besar? apakah data benar-benar merepresentasikan kondisi nyata atau sekadar pencitraan?
Di beberapa daerah, warga mengaku bahwa mereka hanya mendengar keberhasilan dari layar televisi, bukan dari kehidupan sehari-hari. Di kota besar memang ada perbaikan akses layanan, tetapi di pedalaman, warga masih harus menunggu berbulan-bulan untuk hal yang sama. Fenomena ini menunjukkan betapa timpangnya distribusi manfaat MBG. Data resmi menyebut 70% masyarakat telah merasakan dampak positif, namun survei independen LSM justru menemukan angka jauh berbeda: hanya 37% responden yang merasa benar-benar terbantu, sisanya menilai MBG tidak membawa perubahan signifikan.
Angka Indah dalam Dokumen Resmi
Dalam presentasi pemerintah, MBG digambarkan sebagai program revolusioner. Target penerima disebut mencapai jutaan anak sekolah, dengan alokasi anggaran yang bahkan mencapai ratusan triliun rupiah dalam beberapa tahun ke depan. Di media, program ini ditampilkan dengan gambar anak-anak tersenyum memegang kotak makanan bergizi, seolah semua persoalan gizi di Indonesia akan teratasi hanya dengan kebijakan ini.
Namun, yang sering luput adalah cara anggaran tersebut diambil, bagaimana distribusi berjalan, serta siapa saja yang benar-benar merasakan manfaatnya.
Realita di Lapangan: Antara Harapan dan Kekecewaan
Ketika kebijakan ini turun ke lapangan, rakyat menemukan realita yang jauh berbeda dari narasi indah. Di beberapa daerah, menu yang disediakan jauh dari standar gizi seimbang: nasi dengan lauk seadanya, terkadang hanya tempe atau telur yang porsinya sangat kecil. Bahkan ada laporan kasus makanan basi atau tidak layak konsumsi karena masalah distribusi dan pengawasan.
Bagi sebagian keluarga miskin, program ini memang sedikit membantu, tetapi tidak menyentuh akar persoalan: harga bahan pokok yang terus naik, pendapatan keluarga yang stagnan, serta ketidakmerataan akses pangan di daerah-daerah terpencil.
Anggaran dan Kontroversi
Kritik tajam muncul ketika publik mengetahui bahwa sebagian besar anggaran MBG bersumber dari pemangkasan sektor lain, termasuk pendidikan. Logikanya dipertanyakan: bagaimana mungkin program gizi bisa berjalan optimal jika di sisi lain pendidikan dikorbankan? Gizi memang penting, tetapi tanpa pendidikan yang memadai, generasi emas yang digadang-gadang akan kehilangan daya saing.
Selain itu, besarnya anggaran memicu kekhawatiran akan potensi kebocoran. Program masif semacam ini rawan dijadikan lahan bagi mafia proyek, distributor yang tidak transparan, hingga penyedia makanan yang mencari untung besar tanpa memperhatikan kualitas.
Jurang Kepercayaan Publik
Kesenjangan antara "angka indah" yang ditampilkan pemerintah dengan "realita getir" yang dirasakan rakyat menimbulkan jurang kepercayaan publik. Rakyat mulai skeptis: apakah program ini benar-benar untuk mereka, atau sekadar proyek mercusuar demi pencitraan politik?
Dalam banyak testimoni, masyarakat menyebut bahwa MBG lebih sering dipublikasikan ketimbang dirasakan manfaatnya. Ini mempertegas bahwa program sosial tidak boleh berhenti pada simbol dan angka, tetapi harus benar-benar menyentuh kehidupan rakyat sehari-hari.
Rakyat kini menunggu keberanian MBG untuk mengubah cara kerja. Bukan lagi menampilkan statistik indah, melainkan membuka data apa adanya, mengakui kelemahan, dan memperbaiki fenomena nyata di lapangan. Karena pada akhirnya, keberhasilan sebuah program tidak ditentukan oleh seberapa tinggi grafik ditampilkan, melainkan seberapa dalam rakyat merasakan manfaatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI