Kritik tajam muncul ketika publik mengetahui bahwa sebagian besar anggaran MBG bersumber dari pemangkasan sektor lain, termasuk pendidikan. Logikanya dipertanyakan: bagaimana mungkin program gizi bisa berjalan optimal jika di sisi lain pendidikan dikorbankan? Gizi memang penting, tetapi tanpa pendidikan yang memadai, generasi emas yang digadang-gadang akan kehilangan daya saing.
Selain itu, besarnya anggaran memicu kekhawatiran akan potensi kebocoran. Program masif semacam ini rawan dijadikan lahan bagi mafia proyek, distributor yang tidak transparan, hingga penyedia makanan yang mencari untung besar tanpa memperhatikan kualitas.
Jurang Kepercayaan Publik
Kesenjangan antara "angka indah" yang ditampilkan pemerintah dengan "realita getir" yang dirasakan rakyat menimbulkan jurang kepercayaan publik. Rakyat mulai skeptis: apakah program ini benar-benar untuk mereka, atau sekadar proyek mercusuar demi pencitraan politik?
Dalam banyak testimoni, masyarakat menyebut bahwa MBG lebih sering dipublikasikan ketimbang dirasakan manfaatnya. Ini mempertegas bahwa program sosial tidak boleh berhenti pada simbol dan angka, tetapi harus benar-benar menyentuh kehidupan rakyat sehari-hari.
Rakyat kini menunggu keberanian MBG untuk mengubah cara kerja. Bukan lagi menampilkan statistik indah, melainkan membuka data apa adanya, mengakui kelemahan, dan memperbaiki fenomena nyata di lapangan. Karena pada akhirnya, keberhasilan sebuah program tidak ditentukan oleh seberapa tinggi grafik ditampilkan, melainkan seberapa dalam rakyat merasakan manfaatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI