Mohon tunggu...
Idrus Malawie
Idrus Malawie Mohon Tunggu... Author

Seorang penulis yang berfokus pada kajian sosial, budaya, politik, pendidikan dan komunikasi. Karyanya mengangkat isu-isu kontemporer dengan pendekatan analitis dan bahasa yang lugas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gapapa Panas, Asalkan Cirebon : Kisah Rindu Anak Perantauan

11 Oktober 2025   10:03 Diperbarui: 11 Oktober 2025   10:15 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Depan Stasiun KAI Cirebon  (Ilustrasi/Idrus Malawie)

Menjadi anak perantauan di ibu kota bukan perkara mudah. Jauh dari rumah, dari keluarga, dan segala yang familiar, membuat hidup terasa penuh perjuangan. Claudia Umami saat ini bekerja di salah satu lembaga pemerintah Kemenkes RI di daerah ibu kota. Perempuan berusia 24 tahun tersebut bekerja di tengah hiruk-pikuk Jakarta, kota yang tak pernah tidur, di mana ritme hidup bergerak cepat, kadang tanpa jeda. Setiap hari dia menghadapi macet yang tak berkesudahan, tekanan pekerjaan yang menumpuk, serta rasa kesepian yang tak bisa ditutupi oleh keramaian kota besar.

Di perantauan, dia belajar mandiri. Berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, menghadapi biaya hidup yang semakin mahal, dan menjaga semangat meski lelah menyelimuti tubuh. Cuaca di Jakarta memang lebih sejuk daripada Cirebon di musim kemarau, tapi ada panas lain yang lebih sulit ditahan, panasnya tekanan hidup, rasa rindu yang membakar hati, dan sunyinya malam tanpa suara keluarga.

Maka, setiap kali dia mendapat kesempatan pulang ke Cirebon, hati nya berdebar penuh harap. Pulang bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan jiwa untuk mengobati rindu yang selama ini menggunung.

Perjalanan dari Jakarta menuju Cirebon dengan kereta memang panjang, sering kali melelahkan. Duduk berjam-jam di kursi kereta yang tak selalu nyaman, sambil menatap jendela dan melihat perubahan lanskap dari gedung-gedung pencakar langit ke hamparan sawah yang hijau dan perkampungan yang sederhana, menjadi momen refleksi bagi nya. Di situlah, bayangan rumah dan keluarga semakin nyata dan kuat.

Setibanya di stasiun Cirebon pada siang hari yang panas menyengat, udara terasa berat dan gerah. Matahari seperti membakar seluruh kota, membuat kulit terasa seperti terbakar. Namun anehnya, panas itu bukanlah sesuatu yang mengusik hati nya. Malah sebaliknya, ada rasa lega dan damai yang mengalir begitu dia menginjakkan kaki di kota kelahiran.

Saat dia keluar dari stasiun, seseorang yang menjemput nya menyapa dengan ramah sambil tertawa, "Huaah, Cirebon panas banget ya hari ini!" claudia pun menjawab dengan senyum, "Iya, panas memang. Gapapa panas, asalkan Cirebon, karena cuma panas Cirebon yang saya terima, bukan panasnya perjuangan di perantauan."

Obrolan singkat itu membuat dia tersadar bahwa panas di Cirebon ini adalah panas yang membawa rasa rumah, bukan panas yang membuat lelah dan stres seperti di perantauan. Panas di perantauan adalah panasnya beban hidup, panasnya rasa kesepian, dan panasnya perjuangan yang sering terasa tanpa ujung.

Berjalan keluar stasiun, aroma khas Cirebon dari pedagang-pedagang kaki lima nasi jamblang, empal gentong, dan udara yang begitu menyengat, langsung menyapa indera nya. Itu aroma yang hanya bisa dia rasakan di rumah, aroma yang membangkitkan kenangan indah masa kecil dan rasa aman yang selama ini dia rindukan.

Rindu itu bukan hanya tentang tempat, tapi tentang keluarga. Bayangan wajah orang tua, senyum hangat ibu, tawa ceria adik-adik, dan kehangatan rumah yang selalu menunggu membuat hati ini terasa penuh. Walau badan berkeringat karena panas matahari, jiwa nya hangat dan damai.

Di perantauan, malam sering datang dengan dingin dan kesunyian yang menusuk. Dia hanya bisa berbicara lewat telepon dengan keluarga,sesekali ada momen terisak karena capeknya di perantauan dan merindukan suasana rumah yang sederhana tapi penuh cinta. Tidak ada suara tawa yang mengisi ruang, tidak ada aroma masakan ibu yang menggugah selera, hanya ada rasa sepi yang terkadang sulit diatasi.

Namun, di Cirebon, walau siang terasa panas dan gerah, malam membawa kesejukan yang berbeda. Udara segar dari pepohonan, dan kehangatan keluarga membuat segala kepenatan hilang seketika. Rumah di Cirebon bukan hanya bangunan fisik, tapi pelabuhan jiwa yang selalu siap menampung segala lelah dan rindu.

Dia menyadari, banyak orang mungkin memilih untuk tinggal di kota besar yang lebih nyaman atau di tempat yang lebih dingin. Tapi bagi nya, Cirebon adalah rumah, meskipun panasnya menyengat. Panas itu adalah bagian dari cerita, bagian dari rasa cinta yang tak bisa diukur dengan udara yang sejuk.

Jadi, meskipun kadang membuat berkeringat dan gerah, gapapa panas asalkan Cirebon. Karena di sana ada keluarga yang dia cintai, ada rumah yang selalu menyambut, dan ada rasa rindu yang terobati setiap kali dia pulang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun