Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mempersiapkan Murid Menghadapi Tes Kompetensi Akademik: Dari Rasa Cemas ke Rasa Percaya Diri

18 September 2025   15:40 Diperbarui: 18 September 2025   15:40 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

MEMPERSIAPKAN MURID MENGHADAPI TES KOMPETENSI AKADEMIK: DARI RASA CEMAS KE RASA PERCAYA DIRI

Oleh Idris Apandi

Widyaprada Ahli Madya Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Barat

 

Bayangkan seorang murid SMA kelas XII yang duduk termenung di ruang kelas. Matanya menatap papan tulis, tetapi pikirannya melayang jauh. Di tangannya ada selebaran berisi informasi tentang Tes Kompetensi Akademik (TKA) yang akan segera dilaksanakan pemerintah. Hatinya berdebar. "Apakah aku sanggup? Bagaimana kalau nilainya jelek? Bagaimana kalau aku tidak bisa masuk perguruan tinggi yang kuimpikan?" gumamnya dalam hati.

Keresahan semacam ini sangat wajar. Apalagi TKA kerap dipersepsikan sebagai "ujian besar" yang menentukan masa depan. Padahal, sejatinya TKA bukanlah penentu kelulusan. Ia lebih mirip peta jalan, yang memberi gambaran di mana posisi kita dalam hal kemampuan akademik. Namun tentu saja, karena hasilnya bisa menjadi syarat masuk perguruan tinggi jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), syarat beasiswa, atau dasar kebijakan pendidikan nasional, TKA menjadi penting untuk diikuti.

Lalu muncul pertanyaan: bagaimana sekolah bisa mengajak murid agar tidak hanya mau mendaftar TKA, tetapi juga siap mengikutinya dengan penuh percaya diri dan menjunjung tinggi kejujuran?

Mari kita bahas langkah demi langkah, sambil membayangkan situasi nyata di sekolah.

Mengubah Cara Pandang: Dari Beban Menjadi Kesempatan

Banyak murid yang menganggap TKA sebagai "momok menakutkan". Hal ini bisa dimaklumi. Namanya juga tes, wajar kalau terbayang nilai rendah, kegagalan, atau tekanan. Di sinilah peran sekolah menjadi penting. Sekolah perlu mengubah cara pandang murid terhadap TKA. Guru, wali kelas, maupun kepala sekolah dapat menyampaikan bahwa TKA bukanlah sesuatu yang menakutkan, melainkan kesempatan emas.

Kesempatan untuk apa?

  • Kesempatan mengetahui sejauh mana kemampuan diri.
  • Kesempatan mempersiapkan masa depan akademik dengan lebih terarah.
  • Kesempatan membuka jalan menuju perguruan tinggi dan beasiswa.

Ketika murid memahami manfaat TKA, mereka akan lebih termotivasi untuk ikut serta, bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran.

Sosialisasi yang Jelas dan Inspiratif

Langkah pertama adalah sosialisasi. Jangan sampai murid hanya mendengar TKA dari isu atau gosip antarkelas. Informasi harus datang langsung dari sumber resmi di sekolah, disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Bayangkan ada sebuah pertemuan di aula sekolah. Kepala sekolah berdiri di depan, menyapa dengan hangat. "Anak-anak, TKA bukan ujian kelulusan. Jadi jangan takut. Justru dengan ikut TKA, kalian punya peluang lebih besar untuk masuk perguruan tinggi atau mendapatkan beasiswa. Ini kesempatan, bukan beban." Kata-kata sederhana seperti itu bisa memberi efek menenangkan.

Tak hanya sosialisasi formal, guru bisa menyelipkan cerita-cerita inspiratif dalam kelas. Misalnya tentang alumni yang berhasil kuliah di universitas ternama berkat keberaniannya mengikuti tes semacam TKA. Cerita nyata biasanya lebih membekas daripada teori panjang.

Apresiasi, Bukan Hanya Nilai

Ada murid yang mau ikut TKA, tapi merasa minder. "Aku kan biasa-biasa saja, nilainya juga pas-pasan. Kalau ikut tes, pasti jelek," pikirnya. Sekolah perlu menanamkan bahwa ikut TKA itu sendiri sudah sebuah keberanian. Maka wajar kalau sekolah memberikan apresiasi. Apresiasi tidak harus berupa hadiah mahal. Cukup dengan sertifikat, pengumuman di majalah dinding, atau sekadar ucapan selamat dalam apel pagi. "Selamat kepada 120 murid yang sudah mendaftar TKA. Kalian semua adalah pejuang hebat!" Kebanggaan kecil ini bisa membuat murid lain tergugah.

Menggandeng Orang Tua

Keputusan ikut TKA tidak selalu datang dari murid. Sering kali orang tua punya pengaruh besar. Maka, sekolah juga perlu melibatkan mereka. Caranya bisa lewat pertemuan orang tua, grup WhatsApp kelas, atau surat resmi.

"Bapak Ibu, mari kita dorong anak-anak untuk ikut TKA. Hasilnya akan jadi data penting untuk masa depan mereka. Jangan khawatir, TKA bukan penentu kelulusan, tapi bisa jadi tiket menuju beasiswa atau perguruan tinggi." Ketika orang tua memahami manfaat TKA, mereka akan lebih semangat mendorong anak-anaknya.

Persiapan Akademik: Dari Try Out hingga CBT

Setelah murid mau mendaftar, pekerjaan sekolah belum selesai. Persiapan adalah kunci. Sekolah bisa mengadakan program try out TKA secara berkala. Try out bukan hanya mengukur kemampuan, tapi juga membuat murid terbiasa dengan suasana tes. Apalagi jika TKA nanti berbasis komputer, murid perlu dilatih mengerjakan soal dengan sistem Computer Based Test (CBT). Dengan latihan rutin, murid jadi terbiasa: cara membaca soal cepat, strategi menjawab, hingga mengatur waktu pengerjaan. Ini semua membuat mereka lebih percaya diri saat menghadapi tes sesungguhnya.

Pendampingan Mental: Mengatasi Rasa Cemas

Persiapan akademik saja tidak cukup. Banyak murid yang sebenarnya pintar, tapi gagal karena grogi. Tangan berkeringat, kepala pusing, bahkan lupa materi yang sudah dihafalkan. Di sinilah peran guru BK (Bimbingan Konseling) dan guru mata pelajaran. Mereka bisa mengadakan sesi motivasi, pelatihan manajemen stres, hingga simulasi menghadapi ujian.

Teknik sederhana seperti bernapas dalam-dalam sebelum mengerjakan soal bisa membantu. Murid juga perlu diyakinkan bahwa nilai rendah bukan akhir dari segalanya. Yang penting adalah berani mencoba.

Menanamkan Kejujuran: Integritas Lebih Penting dari Nilai

Dalam setiap tes, selalu ada godaan untuk mencontek. Apalagi kalau murid merasa tidak percaya diri. Namun TKA seharusnya menjadi ajang pembelajaran yang bermakna, bukan sekadar angka. Sekolah perlu menanamkan nilai integritas. Hasil TKA harus mencerminkan kemampuan asli murid. Guru bisa mengingatkan dengan bahasa sederhana:

"Kalau hasil TKA kalian tinggi karena curang, siapa yang rugi? Diri kalian sendiri. Karena nanti saat kuliah atau dapat beasiswa, kalian akan kewalahan. Lebih baik jujur, meski nilainya biasa saja."

Dengan pembiasaan kejujuran sejak try out, murid akan terbiasa jujur saat tes sungguhan.

Kesiapan Teknis dan Kesehatan

Selain mental dan akademik, aspek teknis juga penting. Bayangkan murid sudah belajar keras, tapi saat tes panik karena tidak bisa mengoperasikan komputer. Maka, latihan menggunakan perangkat digital perlu dilakukan sejak jauh hari. Selain itu, jangan lupakan kesehatan fisik. Murid perlu tidur cukup, makan bergizi, dan olahraga ringan. Guru olahraga bisa mengingatkan: "Kalau mau otak segar saat tes, jangan begadang. Lebih baik tidur cukup dan sarapan."

Dukungan Lingkungan: Suasana Belajar yang Menyenangkan

Semua usaha di atas akan lebih efektif jika didukung oleh suasana belajar yang kondusif. Guru bisa menciptakan kelas yang menyenangkan, penuh canda tetapi tetap serius.

Bayangkan murid datang ke kelas tambahan, disambut dengan permainan edukatif atau kuis kecil. Mereka belajar sambil tertawa, bukan dengan wajah tegang. Suasana seperti ini membuat murid lebih rileks dan semangat.

Penutup: Dari Cemas Menjadi Percaya Diri

Pada akhirnya, TKA bukanlah sekadar tes, melainkan proses belajar yang berharga. Sekolah punya peran besar untuk mengubah cara pandang murid: dari yang semula melihat TKA sebagai beban, menjadi melihatnya sebagai kesempatan. Dengan sosialisasi yang jelas, dukungan orang tua, persiapan akademik, pendampingan mental, penanaman nilai kejujuran, hingga penguatan teknis dan kesehatan, murid akan datang ke ruang tes bukan dengan wajah pucat, melainkan dengan senyum percaya diri.

Mungkin mereka masih deg-degan. Itu wajar. Tetapi di balik deg-degan itu ada keyakinan: "Aku sudah berusaha. Aku siap menghadapi TKA dengan jujur dan percaya diri." Dan bukankah itu tujuan pendidikan yang sesungguhnya? Membentuk murid yang bukan hanya pintar, tetapi juga berani, jujur, dan percaya pada dirinya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun