Mohon tunggu...
Rial Roja
Rial Roja Mohon Tunggu... Digital Marketing/Content Writer

Mari berbagi cerita dan inspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Horor

Bayangan Tanpa Pemilik

26 Februari 2025   16:08 Diperbarui: 26 Februari 2025   15:09 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Bayangan Seram (Sumber: Pixabay/Mollyroselee)

Malam itu, hujan turun dengan deras. Langit gelap, hanya sesekali tersambar kilatan petir yang menerangi jalanan basah di sebuah desa terpencil. Dinda mempercepat langkahnya, mengeratkan jaketnya, berusaha menghindari tetesan air hujan yang semakin deras. Rumah yang baru ia tempati berada di ujung desa, rumah tua yang sudah lama ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya.

Rumah itu ia beli dengan harga murah, terlalu murah untuk ukuran rumah sebesar itu. Namun, Dinda tak banyak bertanya. Ia hanya ingin tempat tinggal yang tenang, jauh dari kebisingan kota.

Saat ia membuka pintu, udara dingin menyeruak masuk, membawa aroma lembap khas rumah yang sudah lama kosong. Ia meletakkan tas di atas meja kayu tua dan menghela napas panjang.

"Mungkin butuh beberapa waktu untuk terbiasa," gumamnya.

Ia menyalakan lampu ruang tamu. Cahaya kuning temaram dari lampu gantung membuat bayangan-bayangan di sudut ruangan tampak lebih panjang dan menyeramkan. Dinda mengabaikannya dan segera berjalan ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat. Namun, saat ia berbalik, ia merasakan sesuatu yang aneh.

Bayangannya.

Ia menyipitkan mata, memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan hanya ilusi. Bayangannya di lantai tampak lebih gelap dari seharusnya, lebih tebal, seolah ada sesuatu yang membentuknya selain tubuhnya sendiri.

Dinda menelan ludah. "Hanya permainan cahaya," ia meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, semakin ia memperhatikan, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang salah. Bayangannya tidak mengikuti gerakannya dengan benar. Saat ia mengangkat tangan, bayangan itu terlambat bereaksi, seolah-olah sesuatu sedang menirunya dengan sengaja.

Dengan cepat, ia mematikan lampu dan menyalakannya lagi. Saat cahaya kembali menerangi ruangan, bayangannya tampak normal. Ia menghela napas lega.

"Sudah, jangan terlalu dipikirkan," katanya pelan.

Malam itu, ia mencoba tidur. Namun, suara-suara aneh membuatnya terjaga. Seperti suara langkah kaki dari ruang tamu, suara kain yang bergesekan, dan bisikan lirih yang samar. Ia menutup telinganya dengan bantal, meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasinya.

Namun, saat ia menoleh ke arah jendela, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Bayangan itu ada di luar.

Tidak, bukan hanya bayangan biasa. Bentuknya menyerupai dirinya, tapi tanpa tubuh. Bayangan itu berdiri di tengah halaman, diam, tak bergerak, seolah sedang mengawasinya.

Dinda meloncat dari tempat tidur, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia menatap bayangan itu dengan ngeri. Kemudian, perlahan, bayangan itu mulai bergerak. Tidak berjalan, tetapi meluncur, mendekati jendela kamar.

Dinda mundur, tangannya bergetar. "Tidak mungkin... ini tidak nyata!"

Ia meraih ponselnya dan menyalakan senter. Namun, begitu cahaya senter menerangi halaman, bayangan itu menghilang, lenyap begitu saja.

Ia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Mungkin ia terlalu lelah. Mungkin ini hanya efek sugesti karena ia tinggal sendirian di rumah tua.

Namun, saat ia berbalik untuk kembali ke tempat tidur, ia membeku di tempat.

Di cermin besar di sudut kamar, bayangannya tidak ada.

Keesokan paginya, Dinda memutuskan untuk mencari tahu tentang rumah itu. Ia pergi ke rumah Pak Burhan, tetua desa yang sudah lama tinggal di sana.

Pak Burhan menyambutnya dengan ramah, tetapi ekspresinya berubah saat Dinda menyebutkan alamat rumahnya.

"Rumah itu... sudah lama kosong," kata Pak Burhan dengan suara berat.

"Aku tahu," jawab Dinda. "Tapi... apakah ada sesuatu yang harus aku ketahui?"

Pak Burhan menghela napas panjang. "Dulu, rumah itu milik seorang pria bernama Rahmat. Ia tinggal sendirian, hampir tak pernah keluar rumah. Suatu hari, ia ditemukan tewas di kamarnya. Yang aneh, tubuhnya menghilang. Hanya ada bayangan hitam di lantai, yang tak bisa dihapus atau dihilangkan, seolah-olah tubuhnya berubah menjadi bayangan itu."

Dinda merasakan bulu kuduknya meremang. "Lalu?"

"Beberapa orang yang tinggal di sana setelahnya selalu mengalami hal aneh," lanjut Pak Burhan. "Mereka sering melihat bayangan yang bergerak sendiri, seolah-olah bayangan itu milik seseorang yang tak lagi punya tubuh."

Dinda merasakan ketakutan yang semakin menyesakkan dada. "Jadi... maksud Bapak, bayangan itu masih ada?"

Pak Burhan mengangguk pelan. "Hati-hati, Nak. Jika bayangan itu mulai mengikuti gerakanmu dengan lambat... itu berarti ia semakin dekat untuk mengambil tubuhmu."

Malam itu, Dinda tidak bisa tidur. Setiap kali ia menyalakan lampu, ia terus memperhatikan bayangannya. Awalnya, semuanya tampak normal. Tapi semakin lama, semakin jelas bahwa bayangan itu mulai tertinggal dari gerakannya.

Saat ia mengangkat tangan, bayangan itu baru mengangkat tangan beberapa detik kemudian. Saat ia menoleh ke kiri, bayangan itu tetap diam, lalu perlahan menyusul.

Dinda menahan napas. Ia mengingat perkataan Pak Burhan.

Jika bayangan itu semakin tertinggal, itu berarti ia semakin dekat untuk mengambil tubuhmu.

Ia tidak bisa tinggal di rumah ini lebih lama. Dengan cepat, ia meraih tas dan berlari menuju pintu depan. Namun, saat ia hendak membukanya, listrik tiba-tiba padam.

Gelap total.

Dinda merogoh sakunya, menyalakan senter ponselnya. Namun, begitu cahaya menyala, ia melihat sesuatu yang membuatnya hampir menjerit.

Bayangan itu ada di dinding, tapi lebih besar, lebih pekat, dan bentuknya tidak lagi mirip dirinya.

Bayangan itu perlahan merentangkan tangan, seolah siap meraihnya.

Dinda mundur dengan napas terengah-engah. "Jangan... jangan mendekat!"

Tapi bayangan itu terus bergerak.

Dinda meraba-raba di sekelilingnya, mencari sesuatu untuk melindungi diri. Tangannya menemukan lilin dan korek api di meja. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan lilin dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Cahaya lilin membuat bayangan itu terdistorsi, bergerak liar di dinding seolah kesakitan.

Lalu, tiba-tiba, terdengar suara berbisik.

"Kau… milikku… sekarang."

Dinda berteriak, menjatuhkan lilin, dan berlari keluar rumah tanpa menoleh lagi. Ia terus berlari hingga mencapai rumah Pak Burhan.

Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat rumah itu masih berdiri di tempatnya, tetapi sesuatu terasa berbeda.

Bayangannya... sudah tidak ada lagi.

Namun, di sudut rumah yang gelap, di bawah cahaya remang lampu jalan, ia bisa melihat sesuatu merayap di tanah.

Sebuah bayangan, tanpa pemilik, bergerak perlahan ke arahnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun