Dinda menahan napas. Ia mengingat perkataan Pak Burhan.
Jika bayangan itu semakin tertinggal, itu berarti ia semakin dekat untuk mengambil tubuhmu.
Ia tidak bisa tinggal di rumah ini lebih lama. Dengan cepat, ia meraih tas dan berlari menuju pintu depan. Namun, saat ia hendak membukanya, listrik tiba-tiba padam.
Gelap total.
Dinda merogoh sakunya, menyalakan senter ponselnya. Namun, begitu cahaya menyala, ia melihat sesuatu yang membuatnya hampir menjerit.
Bayangan itu ada di dinding, tapi lebih besar, lebih pekat, dan bentuknya tidak lagi mirip dirinya.
Bayangan itu perlahan merentangkan tangan, seolah siap meraihnya.
Dinda mundur dengan napas terengah-engah. "Jangan... jangan mendekat!"
Tapi bayangan itu terus bergerak.
Dinda meraba-raba di sekelilingnya, mencari sesuatu untuk melindungi diri. Tangannya menemukan lilin dan korek api di meja. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan lilin dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Cahaya lilin membuat bayangan itu terdistorsi, bergerak liar di dinding seolah kesakitan.