Malam itu, hujan turun dengan deras. Langit gelap, hanya sesekali tersambar kilatan petir yang menerangi jalanan basah di sebuah desa terpencil. Dinda mempercepat langkahnya, mengeratkan jaketnya, berusaha menghindari tetesan air hujan yang semakin deras. Rumah yang baru ia tempati berada di ujung desa, rumah tua yang sudah lama ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya.
Rumah itu ia beli dengan harga murah, terlalu murah untuk ukuran rumah sebesar itu. Namun, Dinda tak banyak bertanya. Ia hanya ingin tempat tinggal yang tenang, jauh dari kebisingan kota.
Saat ia membuka pintu, udara dingin menyeruak masuk, membawa aroma lembap khas rumah yang sudah lama kosong. Ia meletakkan tas di atas meja kayu tua dan menghela napas panjang.
"Mungkin butuh beberapa waktu untuk terbiasa," gumamnya.
Ia menyalakan lampu ruang tamu. Cahaya kuning temaram dari lampu gantung membuat bayangan-bayangan di sudut ruangan tampak lebih panjang dan menyeramkan. Dinda mengabaikannya dan segera berjalan ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat. Namun, saat ia berbalik, ia merasakan sesuatu yang aneh.
Bayangannya.
Ia menyipitkan mata, memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan hanya ilusi. Bayangannya di lantai tampak lebih gelap dari seharusnya, lebih tebal, seolah ada sesuatu yang membentuknya selain tubuhnya sendiri.
Dinda menelan ludah. "Hanya permainan cahaya," ia meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, semakin ia memperhatikan, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang salah. Bayangannya tidak mengikuti gerakannya dengan benar. Saat ia mengangkat tangan, bayangan itu terlambat bereaksi, seolah-olah sesuatu sedang menirunya dengan sengaja.
Dengan cepat, ia mematikan lampu dan menyalakannya lagi. Saat cahaya kembali menerangi ruangan, bayangannya tampak normal. Ia menghela napas lega.