Pada suatu malam, puluhan anak muda dari Jakarta, Makassar, Yogyakarta, dan Manila masuk ke sebuah ruang Discord yang sama. Tidak ada panggilan resmi, tidak ada pembuka rapat.Â
Seorang peserta hanya menaruh tautan Google Docs, berisi draf aksi iklim: siapa yang membuat poster, siapa yang menulis pernyataan, siapa yang mengelola akun media sosial.Â
Dalam dua jam, seluruh daftar tugas sudah terisi sukarela. Tak ada yang ditunjuk sebagai ketua. Keesokan harinya, ketika media menanyakan siapa juru bicara mereka, jawabannya serempak: "Kami tidak punya perwakilan. Kami kolektif."
Bagi banyak pengamat, pemandangan seperti ini membingungkan---seolah sebuah gerakan besar berjalan tanpa pemimpin.Â
Tapi bagi Gen Z, ini justru cara yang paling masuk akal: mereka menyebutnya liquidity of leadership---kepemimpinan yang cair, tanpa wajah tunggal yang bisa diangkat atau dijatuhkan.
Menolak Logika Pemimpin Tunggal
Selama puluhan tahun, publik terbiasa memandang gerakan sosial sebagai cerminan satu figur karismatik. Media pun membentuk logika yang sama: untuk layak diberitakan, sebuah gerakan harus punya "wajah". Tokoh memberi narasi, memberi kutipan, memberi simbol.
Tapi Gen Z tumbuh di tengah internet, tempat tokoh tunggal justru sering menjadi titik lemah. Satu orang bisa dijatuhkan dengan skandal, diserang secara digital, atau bahkan "dibeli" untuk melemahkan seluruh gerakan.Â
Oleh karena itu, mereka memilih cara lain: menciptakan gerakan yang tidak bergantung pada satu figur siapa pun. Gerakan ini bisa kehilangan satu anggota, tapi tidak kehilangan arah.
Apa Itu Liquidity of Leadership