Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jejak Orang Rantai di Sawahlunto

5 September 2016   12:22 Diperbarui: 5 September 2016   19:20 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang rantai menjadi bagian tak terpisah dari tetesan batubara Sawahlunto

Oh ya, ada satu gedung tua di ujung cerobong asap. Yaitu tempat pemotongan hewan atau penjagalan. Tempat itu kini menjadi menyatu dengan tempat tinggal masayarakat. Saya tidak berani melihatnya, karena tempatnya tidak terurus dan kotor. Jijik……

Secara psyikologis batinku teramat lelah, setelah mengikuti rangkaian penyaksian bangunan dan bekas pijakan pekerja dan mandor batubara. Aku membayangkan bagaimana manusia rantai kala itu bekerja keras demi melayani Belanda. Mereka – para pekerja – tidak mendapatkan apa-apa.

Mereka dipaksa bekerja. Sementara Belanda (kala itu diwakili VOC) mengeruk ketuntungan batubara, dan menjualnya ke pasar global. Saat itu, harga batubara menanjak. Jenis batubara Sawahlunto merupakan salah satu terbaik di dunia. Diperkirakan nilai kandungannya mencapai ratusan ton…(silahkan pembaca cek di google…)

Hotel Ombilin menjadi saksi bisu untuk penginapan pekerja perusahaan batubara
Hotel Ombilin menjadi saksi bisu untuk penginapan pekerja perusahaan batubara
Selesai mengunjungi musium, saya pergi ke penginapan. Kawanku memesankan hotel “Ombilin”. Sejarahnya, fasilitas hotel dibangun untuk memenuhi kebutuhan penginapan tamu dan pejabat perusahaan atau pemerintah Belada yang berkunjung ke Sawahlunto. Dalam perjalanan sejarah – seperti tertulis di batu nisan --, gedung ini mengalami fungsi.

Diantaranya; pernah menjadi asarama tentara Belanda masa agresi I dan II, sebagai kantor polisi resort Sawahlunto, sebagai klinik perusahaan tmabng Batubada Ombilin, dan sebagai wisma Ombilin. “Ih…ngeri juga ya ini bangunan. Ternyata telah tua dan dipakai orang dengan sejumlah peruntukan…”, keluhku saat membaca sejarah gedung Hotel Ombilin.

Kini, bangunan tersebut menjadi “heritage” (bangunan yang dilindungi pemerintah kota) kota tua pemkot Sawahlunto. “Pantes saja. Bangunannya terlihat tua dan beraksen aristokrat Belanda”, ungkapku setelah memandang terktur bangunan.

Tak dinyana, kawanku memesankan untuku kamar super delux, berbentuk cottage. Memang sih harganya paling mahal dari semua tipe. Bersama petugas hotel, Saya meninjau kamar tersebut. Ia berada di paling ujung, dan pojok gedung dari areal hotel. Cottage tersebut terkesan tua. Pintunya bergaya bangunan lawas Belanda. Gagang pintunya beraksen Eropa klasik yang sudah menua. Saat aku buka pintunya, hawa dan aroma zaman lampau mendesir menerpa wajahku sesaat. Rambut tipis kulit lenganku berdiri pelan…ihh ngeri…..

Cottage itu berisi 3 kamar. Setiap kamarnya memiliki lebar dan luas cukup untuk bermain pingpong. Di dalamnya ada ruang tamu dan kamar mandi serta dapur. Kelihatannya, cottage tersebut cocok bagia tamu berkeluarga. Saat itu, bagunan tersebut sepi sekali. Hanya saya yang hendak menempati kamar dan bangunan itu.

Setelah kupir, saya putuskan untuk tidak mengambil kamar itu. Saya memilih kamar yang kecil yang dekat dengan resepsionis. Kamar itu cukup luas. Ada tempat tidur dan ruang tamu serta kamar mandi. Sayang memang, bangunan hotel yang merupakan hertigae terkesan tidak terawat. Kamarku banyak yang harus diperbaiki. Atap kamar mandi sudah keropos.

Sementara krannya berfungsi tidak maksmial. Lubang airnya terkesan jaranag dibersihkan. Sehingga terkadang air masih menggenang. (Pengelola hotel…..tolong dong diperbaiki…..).Sayang ya…Padahal informasi tertera di dinding hotel, menyertakan bahwa penginapan Ombilin merupakan cagar budaya.

Asli, saya masih merasakan hawa masa lampau di hotel tersebut. Apalagi saat hari minggu – hari terakhirku tinggal di situ – tiba-tiba lonceng berdentang bertalu-talu dari gereja yang berlokasi persis di belakang hotel, pukul 07.00. Ia berhadapan dengan cottage di pojok hotel. Mungkin itu merupakan satu-satunya gereja di Sawahlunto.

Ia juga cagar budaya peninggalan Belanda untuk mengakomodasi ibadah warga katoliknya. Disampingnya, sekolah dasar dan SMP Santa Ursula. Di depannya jalan raya utama. Sementara seberangnya di bangunan pertokoan yang belakangnya mengalir sungai membelah kota dengan bangunan pabrik batubara yang kini bernama PT Bukit Asam. Di situ, stadiun sepak bola dan sarana olahraga lainya terhampar indah. Indah dan eksotik luar biasa, rancangan Belanda dalam mendesain kota di atas lembah dan perbukitan. Luar biasa, mengagumkan…..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun