Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jejak Orang Rantai di Sawahlunto

5 September 2016   12:22 Diperbarui: 5 September 2016   19:20 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang rantai menjadi bagian tak terpisah dari tetesan batubara Sawahlunto

Hotel Ombilin, sejatinya teramat strategis. Ia terletak di pusat kota. Di depannya, gedung pusat kebudayaan Sawahlunto. Di sampingnya restoran jalanan yang menjual aneka makanan. Di pojok lainnya, gallery yang menyambung dengan gedung kebudayaan. Bangunanya tetap asli nan eksotifs, bergaya eropa pertengahan.

Bila malam menjelang -- seperti malam itu --, saya keluar mencari makan malam. Di samping gedung kebudayaan atau di depan lapangan PT Bukit Asam, aneka makanan merakyat tersaji. Menunya standar, seperti; sate padang, mie ayam, bakso, nasi goreng, dsb. Khusus untuk hal kuliner ini, saya kurang puas dengan sajiam makanan di Sawahlunto.

Tidak banyak pilihan restaruran. Akhirnya, saya makan sate padang di depan hotel Ombilin. Malam itu, tidak ada agenda di gedung kebudayaan. Tak terasa, jam menunjukan pukul 22.00 malam. Sayup-sayup keramaian sore yang sempat mengular di gedung kebudayaan dan pelataran gedung PT buit Asam, mereda. Saya balik ke hotel dan tidur.

Dalam lamunan malam sebelum tidur, saya terkenang nasib orang rantai yang bekerja secara “paksa” di perusahaan batubara dan gudang ransoem sebagai penyedia makanan. Tak tak tahu kenapa malam itu, saya sulit tidur. Mata terlelap sebantar. Namun saat jam 12.00 malam, saya bangun kembali. Saya tidak bisa tidur lelap sebagaimana biasanya. Tidak tahu apa penyebabnya. Apakah karena saya tidur di tempat baru, apalagi ini merupakan bangunan lama yang dibangun Belanda sejak 1918.

Trowongan mbah Soero diawali dari gedung yg semula untuk berkumpul para buruh
Trowongan mbah Soero diawali dari gedung yg semula untuk berkumpul para buruh
Besok hari, Sabtu, 21 Mei 2016, jam 15.30, setelah menyelesaikan pekerjaan di satu desa, untuk memenuhi rasa penarasanku terhadap orang rantai, saya mendatangai Trowongan mb Soero. Matahari bersinar panas di atas kepalaku. Saya menyusuri jalan raya sebelah kiri hotel Ombilin. Hanya 10 menit, saya tempuh perjalanan mencapai gedung bernama “Info Box, Galeri Tambang batubara & Lubang tambang mbah Soero”. Saat pintu gedung dibuka, seorang penjaga menyapaku. Saya memngisyarakan untuk berkunjung ke trowongan. Ia memintaku untuk menunggu sebentar, karena harus ditemani gued gallery.

Beberapa menit sang gued hadir. Saya diminta unutk membayar tiket Rp 8.000 per orang. Sebelum perjalanan dimulai, saya naik ke lantai atas untuk melihat foto-foto dan informasi seputar galian batubara dan peran orang rantai. Di situ tertera kisah sejarah asala muasal “trowongan mb Soero”. Nama trowongan itu diambil dari nama sang mandor yang berasal dari Jawa, yang dinilai Belanda sebagai karyawan teladan dan memiliki kesaktian mandraguna. Mb Soero juga merupakan pekerja keras, tegas, taat beragama dan disegani para buruh dan masyarakat sekitar. Sementara lobang mbah Soero, merupakan lobang tambang pertama di lembah Soegar yang dibuka pada tahun 1898.

Gedung ini merupakan bekas bangunan pertemuan buruh untuk mendiskusikan berbagai kegiatan, dan kegiatan hiburan seperti wayang kulit dan pemutaran film layar tancap setelah galian ditutup. Selain itu, bangunan tersebut adalah lokasi penumpukan batubara hasil galian dari lobang tambang mab Soero. Ia dibangun tahun 1947.

Setelah melihat foto sejarah, saya turun dan berjumpa kembali dengan gued. Ia memintaku untuk memakai peralatan safety berupa; topi dan sepatu ala penambang batubara. Saat saya mau berangkat ke trowongan, sejumlah mahasiswa datang bergabung. Jadilah kami ber 8 orang berangkat menuju trowongan. Di depan trowongan, patung manusia (orang-orang rantai) yang menggabarkan aktiftas pertambangan batubara dan mandornya. Pintu trowongan masih terkunci.

Air terus menetes di dalam trowongan yg bila tidak hati-hati pengunjung bisa terjatuh
Air terus menetes di dalam trowongan yg bila tidak hati-hati pengunjung bisa terjatuh
Sang gued membuka pintu trowongan. Dag dig dug perasaanku kala itu. Aslinya trowongan itu gelap sekali. Saat pintu terbuka, hawa gelap dan bau batubara tercium jelas. Satu persatu, anak tangga kami turuni. Dinding trowongan sekuran 2 meter atau cukup untuk dua orang masuk, berair. Air menetes pelan-pelan dari dinding yang berbalut batubara berwarna hitam. Diperkirakan panjang trowongan bermeter-meter, yang mempanjang hingga ke beberapa bukit di depannya. (Bagaimana cara membangunnya ya….)

Meski sudah ada lampu di setiap sudut tikungan trowongan, sang gued tetap membawa lampu senter yang pancaranya bisa menembus jauh ke depan. Beberapa meter dari trowongan, ada cekungan lubang besar untuk berdiri 2-3 orang. Tempat itu seperti terminal untuk pemberhentian orang, supaya tidak tertabrak orang lain yang membawa batubara.

Artinya, supaya tidak bertabrakan, ia harus parkir sebentar di lobang tersebut. Tiba-tiba kami berhenti di satu titik. Di depan kami, jalan trowongan tertutup dengan pintu besi. Menurut gued, trowongan itu sengaja ditutup karena belum diperbaiki. Sejatinya masih ada jalan lagi hingga lavel 1, bagitu ungkap sang petugas.

Sementara tempat yang kami berdiri masih di level 7. Jadi masih awal sekali. Meski begitu, rambut kulit tanganku beridiri tiba-tiba. Sepi dan gelap sekali. Air dingin dari batubara tiba-tiba menetes tanganku yang tak terlindungi. Saya seperti membayangkan bahwa di tempat ini, lalu lalang orang rantai sibuk mengantar batubara, dan yang lain memacul dan mengeruk batubara dari dinding dan gundukan didepannya. Ihhhhh, ngeri…..

Karena trowongan di depan ditutup, sang gued (petugas) mengarahkan kami untuk berjalan ke arah kanan. Kami berjalan lurus dan menemui cekungan untuk tempat pemberhentian. Di sebelah kanan, beberapa meter kami menemui pintu besi yang menutupnya. Menurut gued jalan kesana belum diperbaiki. Masih ada tulang dan tengkorak kepala manusia di trowongan tersebut (Uhh..makin ngilu perutku mendengarnya….). Oleh karena itu, pemkot Sawahlunto akan menertibkannya.

Begitu curam lantai pintu keluar trowongan, meski telah mendapat perbaikan tetap saja melelahkan ke trowongan
Begitu curam lantai pintu keluar trowongan, meski telah mendapat perbaikan tetap saja melelahkan ke trowongan
Di akhir perjalanan, sang gued berkata bahwa sebelum trowongan dibuka untuk umum, pemkot sangat mewanti-wanti keselamatan pengunjung. Ini karena trwongan ini sejatinya merupakan tempat bersemanyamnya mayat orang-orang rantai yang berkerja untuk menggali batu bara. Saat menggali itulah, karena sakit atau tenaga tidak kuat, ia meninggal di situ.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun