Hotel Ombilin, sejatinya teramat strategis. Ia terletak di pusat kota. Di depannya, gedung pusat kebudayaan Sawahlunto. Di sampingnya restoran jalanan yang menjual aneka makanan. Di pojok lainnya, gallery yang menyambung dengan gedung kebudayaan. Bangunanya tetap asli nan eksotifs, bergaya eropa pertengahan.
Bila malam menjelang -- seperti malam itu --, saya keluar mencari makan malam. Di samping gedung kebudayaan atau di depan lapangan PT Bukit Asam, aneka makanan merakyat tersaji. Menunya standar, seperti; sate padang, mie ayam, bakso, nasi goreng, dsb. Khusus untuk hal kuliner ini, saya kurang puas dengan sajiam makanan di Sawahlunto.
Tidak banyak pilihan restaruran. Akhirnya, saya makan sate padang di depan hotel Ombilin. Malam itu, tidak ada agenda di gedung kebudayaan. Tak terasa, jam menunjukan pukul 22.00 malam. Sayup-sayup keramaian sore yang sempat mengular di gedung kebudayaan dan pelataran gedung PT buit Asam, mereda. Saya balik ke hotel dan tidur.
Dalam lamunan malam sebelum tidur, saya terkenang nasib orang rantai yang bekerja secara “paksa” di perusahaan batubara dan gudang ransoem sebagai penyedia makanan. Tak tak tahu kenapa malam itu, saya sulit tidur. Mata terlelap sebantar. Namun saat jam 12.00 malam, saya bangun kembali. Saya tidak bisa tidur lelap sebagaimana biasanya. Tidak tahu apa penyebabnya. Apakah karena saya tidur di tempat baru, apalagi ini merupakan bangunan lama yang dibangun Belanda sejak 1918.

Beberapa menit sang gued hadir. Saya diminta unutk membayar tiket Rp 8.000 per orang. Sebelum perjalanan dimulai, saya naik ke lantai atas untuk melihat foto-foto dan informasi seputar galian batubara dan peran orang rantai. Di situ tertera kisah sejarah asala muasal “trowongan mb Soero”. Nama trowongan itu diambil dari nama sang mandor yang berasal dari Jawa, yang dinilai Belanda sebagai karyawan teladan dan memiliki kesaktian mandraguna. Mb Soero juga merupakan pekerja keras, tegas, taat beragama dan disegani para buruh dan masyarakat sekitar. Sementara lobang mbah Soero, merupakan lobang tambang pertama di lembah Soegar yang dibuka pada tahun 1898.
Gedung ini merupakan bekas bangunan pertemuan buruh untuk mendiskusikan berbagai kegiatan, dan kegiatan hiburan seperti wayang kulit dan pemutaran film layar tancap setelah galian ditutup. Selain itu, bangunan tersebut adalah lokasi penumpukan batubara hasil galian dari lobang tambang mab Soero. Ia dibangun tahun 1947.
Setelah melihat foto sejarah, saya turun dan berjumpa kembali dengan gued. Ia memintaku untuk memakai peralatan safety berupa; topi dan sepatu ala penambang batubara. Saat saya mau berangkat ke trowongan, sejumlah mahasiswa datang bergabung. Jadilah kami ber 8 orang berangkat menuju trowongan. Di depan trowongan, patung manusia (orang-orang rantai) yang menggabarkan aktiftas pertambangan batubara dan mandornya. Pintu trowongan masih terkunci.

Meski sudah ada lampu di setiap sudut tikungan trowongan, sang gued tetap membawa lampu senter yang pancaranya bisa menembus jauh ke depan. Beberapa meter dari trowongan, ada cekungan lubang besar untuk berdiri 2-3 orang. Tempat itu seperti terminal untuk pemberhentian orang, supaya tidak tertabrak orang lain yang membawa batubara.
Artinya, supaya tidak bertabrakan, ia harus parkir sebentar di lobang tersebut. Tiba-tiba kami berhenti di satu titik. Di depan kami, jalan trowongan tertutup dengan pintu besi. Menurut gued, trowongan itu sengaja ditutup karena belum diperbaiki. Sejatinya masih ada jalan lagi hingga lavel 1, bagitu ungkap sang petugas.
Sementara tempat yang kami berdiri masih di level 7. Jadi masih awal sekali. Meski begitu, rambut kulit tanganku beridiri tiba-tiba. Sepi dan gelap sekali. Air dingin dari batubara tiba-tiba menetes tanganku yang tak terlindungi. Saya seperti membayangkan bahwa di tempat ini, lalu lalang orang rantai sibuk mengantar batubara, dan yang lain memacul dan mengeruk batubara dari dinding dan gundukan didepannya. Ihhhhh, ngeri…..
Karena trowongan di depan ditutup, sang gued (petugas) mengarahkan kami untuk berjalan ke arah kanan. Kami berjalan lurus dan menemui cekungan untuk tempat pemberhentian. Di sebelah kanan, beberapa meter kami menemui pintu besi yang menutupnya. Menurut gued jalan kesana belum diperbaiki. Masih ada tulang dan tengkorak kepala manusia di trowongan tersebut (Uhh..makin ngilu perutku mendengarnya….). Oleh karena itu, pemkot Sawahlunto akan menertibkannya.
