Karena membutuhkan tenaga dan biaya, Belanda – pemilik perusahaan – membiarkan mayat tertinggal di situ. Makanya banyak makhluk halus yang masih bersemanyam di trowongan. Menurutnya, acara “Jalan-jalan bersama Tukul Arwana” yang ditayangkan trans 7 pernah shooting di sini.
Mendengar penjelasan itu, rasa ngeriku timbul kembali. “Ihhh…mengerikan juga ya…”. Iseng-iseng, saya mengeluarkan smart phone untuk mengambil beberapa gambar suasana dalam trowongan. Khususnya tempat dimana bekas tulang dan tengkorak kepala orang rantai berada. Eh….tiba-tiba kameraku tidak bisa menyala. Saya coba lagi berkali-kali, namun tetap tidak mau nyala. Akhirnya saya berfikir dan makin yakin, kalau di sekitarku sedang ada apa-apanya.
“Ih…..suasana nya kok jadi membuat makin mengerikan ya….” Begitu keluhku dalam batin. Akhinrya saya meminta gued untuk segera menyudahi perjalanan. Saat kami keluar dari pintu trowongan, ternyata kami berada jauh di luar areal darimana pertama masuk gedung inbok. Tanpa sadar, kami berarti berjalan di bawah tanah dan diatasnya jalan raya yang dilalui kedaraan dan pejalan kaki. Memang Belanda ahlinya membuat big tunnel bawah tanah…
Perjalanan ini – paling tidak – membuatku makin memahami seluk beluk pekerja paksa yang dialami orang rantai. Dibalik manisnya batubara, tersimpan tetesan keringat dan darah orang-orang rantai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI