The Lost Essence of FantasyÂ
Once committed to his imaginary kingdom, the writer is not a monarch but a subject. Characters must appear plausible in their own setting, and the writer must go along with their inner logic, Happenings should have logical implications. Details should be tested for consistency. Shall animals speak? If so, do all animals speak? If not, then which --- and how? Above all, why? Is it essential to the story, or lamely cute? Are there enchantments? How powerful? If an enchanter can perform such-and-such, can he not also do so-and-so?
- The Flat-Heeled Muse (1965) by Lloyd AlexanderÂ
"The kids love reading fantasy because of the story's adventure, and the adults love reading fantasy because of the story's symbolism."
Hal ini ternyata betul, mungkin ini menurut saya juga. Fantasy merupakan genre terkuno dari beragam genre, genre ini telah mengeksplorasi perilaku dan pola hidup manusia, dengan beragam cerita hingga makhluk. Oleh karena itu, salah satu aspek fantasi yang terus melekat di dalam sebuah cerita ialah, "Fantasy provides metaphors through which we can examine aspects of life from different perspective."
Iblis di dunia fantasi, kenapa kok bijak dan baik? Apakah ini eksploitasi kejahatan? Sedangkan malaikat atau deity di dunia tersebut bertentangan dengan sifat iblis di dunia tersebut. Hal ini bisa menjadi sebuah metafora di dunia asli, manusia seringkali menyalahkan iblis atas kesalahannya sendiri, "Bisikan setan itu!" Padahal dirinya yang melakukan perbuatan tersebut, membuat fantasi sebagai jalan kabur dari realitas.
Contoh lain anime atau kartun Jepang yang sedang naik daun, Frieren, banyak sekali orang yang menyukai cerita ini. Cerita setelah raja iblis dikalahkan, yang berfokus pada sesosok Elf berumur panjang bernama Freiren.
Apa yang istimewa dari cerita ini? Cerita ini berfokuskan ke dinamika hidup atau metafora hidup. Hidup panjang yang dialami Elf Freiren merupakan sebuah anugrah dan sebuah kutukan.
Kita bisa melihat metafora perjalanan Frieren, ia kehilangan temannya karena ia hidup lebih lama. Ia kesulitan mencari buku yang ia belum baca, karena ia sudah membaca banyak sekali buku. Hal ini merupakan sebuah simbol ketika seseorang hidup terlalu lama. 10 tahun dari hidupnya akan berasa 1 tahun, 100 tahun dari hidupnya akan berasa 10 tahun. "Immortality can be a curse and a gift." Lalu kita akan berpikir lebih dalam, Frieren akan kehilangan muridnya suatu saat nanti, jadi ia akan kehilangan beberapa temannya lagi, bukan teman lamanya, melainkan teman barunya.
Sedangkan cerita fantasi lainnya, mereka tidak mengeksplor dinamika ini, yang mereka eksplor adalah kekuatan, dan aksi, jadi semakin hidup lama maka semakin kuat, sehingga metafora ini tidak dapat, dan mungkin bakal disukai anak-anak, seperti yang di atas.Â
Metafora immortality juga bisa kita kuak, menurut Daoism, The Dao, or the Way, is the approach in accordance with the flow of Nature. Akan tetapi, para immortals ini justru berjalan tidak sesuai Dao, atau justru sebaliknya, untuk menjadi immortal harus mengikuti Flow Dao.Â
Ini juga bisa menjadi sebuah simbol mengenai Flow, orang-orang seringkali mengartikan Flow sebagai ikut-ikutan menimbulkan tidak berkembangnya otak manusia di dunia fiksi tersebut, mereka hanya ikut-ikutan para immortals ini tanpa mencari jalan lain. Padahal Flow ini lebih dalam artinya, yang di mana sebagai makhluk, kita harus mengetahui baik dan jahat serta berpikir krusial, bukan hanya sekedar ikut-ikut.
Apalagi sekarang banyak sekali cerita fantasi yang kurang akan symbolisme atau metafora, sehingga memang betul ketika anime Freiren dikatakan membangkitkan genre fantasi di dunia anime, karena Freiren menceritakan betul arti makna fantasi.
Lalu bagaimana kita bisa menciptakan sebuah metafora ini? Keluar dan amati masyarakat di sekitarmu! Bukan hanya itu, seperti quote awal di atas dari Lloyd Alexander, "Once committed to his imaginary kingdom, the writer is not a monarch but a subject...".Â
Beberapa orang berkata, penulis itu Tuhan dunia cerita mereka. Posisi penulis sebagai Tuhan di dunia mereka, ketika penulis tersebut merancang atau mendesain dunianya. Ketika penulis sudah terjun ke cerita dan dunianya sudah kongkrit dibuat, maka posisikan penulis sebagai subjek atau karakter di dalam cerita tersebut. Bila penulis memposisikan terus menjadi Tuhan atau Monarki, maka penulis ini akan kehilangan perspektif kehidupan di dunia tersebut. Kata dari Lloyd Alexander tersebut sangatlah kuat, jadilah penulis jangan sebagai Tuhan atau Monarkinya, melainkan sebuah subjek di dalam cerita tersebut.
Ketika kita menjadi subjek, maka kita akan mendapatkan perspektif kehidupan yang sesungguhnya. Contohnya bila ada sebuah kejadian terjadi atau fenomena terjadi, penulis yang memposisikan dirinya sebagai subjek akan bertanya Apa yang dirasakan karakter ini? Apa ya dampak dari fenomena ini? Sama halnya agan melihat kecelakaan di jalan. Bila penulisnya menjadi Tuhan, yang ia pikirkan ialah adegan selanjutnya dari fenomena tersebut.
"Aku gak suka karakter ini, akan kulenyapkan di chapter berikutnya."
Penulis juga tidak bisa semata-mata menghilangkan satu karakter dengan sesuka hati. Well, technically, they can. Akan tetapi, dalam menulis ada sebuah batasan yang membuat penulis tidak bisa sesuka hatinya menghilangkan satu karakter.Â
Hal ini apa, narasi dan alam bawah sadar yang memandu karakter dan cerita, sehingga penulis tidak mempunyai kendali atas apakah karakter tersebut mati. Kita bisa lihat novel Misery karya Stephen King, karakter fiksi Paul Sheldon seorang author Misery Chastain tidak suka menulis buku tersebut, jadi ia membuat ending yang sesuai inner logic dan mendukung quote dari Lloyd Alexander di atas.Â
Dalam novelnya Misery Chastain, Paul membuat ending di mana karakter utamanya, Misery, meninggal saat melahirkan anak pertamanya. Hal ini Paul yakini akan membebaskan dirinya dari karakter tersebut dan memungkinkan untuk mengejar ide-ide penulisan lainnya.
Lalu pertanyaanya, kenapa ia tidak melakukan atau membuat karakter Misery ini mati jauh-jauh hari bila ia tidak suka menulis novel tersebut dan karakternya? Karena batasan tadi, narasi dari novel tersebut dan alam bawah sadar Paul memandu karakter dan cerita yang dibuat Paul, meskipun ia sangat tidak suka menulis novel tersebut, bukan Paul secara sadar ia merupakan Tuhan dari cerita tersebut. Dunia ceritamu memiliki system kerja sendiri, layaknya dunia nyata. Tuhan tidak langsung mengintervensi atau membantu secara tiba-tiba kepada kita, ada namanya suatu proses, yang kendalinya ada di diri kita sendiri, kita ingin berubah maka kita sendiri yang harus bergerak. Oleh karena itu, karakter dalam ceritamu memiliki kesadaran sendiri, membuat posisi penulis sebagai Tuhan dalam mengeksplor cerita akan berbeda.
Ketika kita memposisikan sebagai subjek, cobalah ikuti logika dunia tersebut, jadi penulis bukan hanya membuat melainkan harus ikut serta ke logika atau inner logic dunia tersebut, hal ini dilakukan penulis untuk melihat sebuah kecacatan seperti quote di atas "Happenings should have logical implications. Details should be tested for consistency. Shall animals speak? If so, do all animals speak? If not, then which --- and how? Above all, why? Is it essential to the story, or lamely cute? Are there enchantments? How powerful? If an enchanter can perform such-and-such, can he not also do so-and-so?"Â
Bila penulis memposisikan sebagai Tuhan, maka ia tidak menyadari kecacatan dunianya sendiri, karena mereka menganggap dunia mereka sempurna. Seperti buku dari Jorge Luis Borges, "The Circular Ruins," seorang pria bermimpi menciptakan makhluk yang sempurna, hanya untuk menyadari bahwa dia sendiri adalah produk dari mimpi orang lain. Logika rekursif ini menimbulkan pertanyaan tentang sifat identitas dan eksistensi. Cobalah ajak ngopi karaktermu sendiri, suruh karaktermu curhat ke dirimu, hal ini mungkin bisa membantu.
Genre fantasi merupakan sebuah cermin bagi manusia, karena di genre ini kita bisa bercermin melalui penggambaran lain. Cerita-cerita mitos, legenda, dan kuno merupakan bukti sebuah cermin dari peradaban masyarakat kala itu, atau dari perilaku masyarakat kala itu. Lalu cermin apa yang kau bisa gambarkan dari masyarakat modern ini di dunia fantasi?
"Good fantasy actually tells the truth about life. It clarifies the human condition and captures the essence of our deepest emotions, dreams, hopes, and fears. If fantasy does not do these things, it fails.".
Seperti kata bang Lloyd Alexander, "Fantasy is hardly an escape from reality. It's a way of understanding it.". dan "And, as in all literature, characters are what ultimately count. The writer of fantasy may have a slight edge on the realistic novelist, who must present his characters within the confines of actuality. Fantasy, too, uses homely detail, but at the same time goes right to the core of a character, to extract the essence, the very taste of an individual personality. This may be one of the things that makes good fantasy so convincing. The essence is poetic truth."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI