Mohon tunggu...
Mohammad Ichsan Verianto
Mohammad Ichsan Verianto Mohon Tunggu... Peneliti Muda

Mohammad Ichsan Verianto, Bachelor of Economics from Universitas Airlangga. Interest in Regional Economics, Public Policy, Green Economics, and Finance.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Transisi Electric Vehicle Indonesia: Inovasi atau Ilusi di Tengah Efisiensi

21 April 2025   16:10 Diperbarui: 21 April 2025   16:08 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Infrastruktur Pengisian Daya Electric Vehicle (Sumber: Shutterstock/Jackie Niam)

Ancaman dari Kebijakan Fiskal: Efisiensi Bisa Jadi Bumerang?

Namun, upaya pengembangan kendaraan listrik di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan efisiensi anggaran dan penyesuaian kebijakan fiskal. Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, serta menerapkan opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) mulai 2025.

Meskipun kebijakan kenaikan PPN tengah dikaji ulang, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan stagnan bahkan mengalamai kontraksi dalam jangka pendek-menengah karena diberlakukannya efisiensi anggaran oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan ini berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat dan pertumbuhan penjualan kendaraan, termasuk kendaraan listrik.

Efisiensi anggaran tahun 2025, khususnya terkait transisi kendaraan listrik dapat dinilai kontradiktif jika dibandingkan kebijakan sebelumnya. Pada 2024, pemerintah mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp186,9 triliun, dengan rincian Rp113,3 triliun untuk BBM dan LPG serta Rp73,6 triliun untuk listrik. Namun, realisasi subsidi BBM dan LPG mencapai Rp230,5 triliun, melebihi pagu anggaran. Ini menunjukkan dominasi alokasi untuk energi tidak terbarukan masih sangat besar.

Situasi ini mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2024 untuk memberikan insentif konversi 1.111 unit motor listrik, naik dari tahun sebelumnya sebanyak 966 unit. Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan Rp1,75 triliun untuk subsidi pembelian 200.000 unit motor listrik baru dan 50.000 unit motor konversi.

Namun, kebijakan pemangkasan anggaran Kementerian ESDM dari Rp3,91 triliun menjadi Rp2,25 triliun pada 2025 dikhawatirkan melemahkan kapasitas institusional di beberapa aspek krusial. Pertama, pengawasan lapangan dan kapasitas teknis menjadi kurang optimal. Kedua, efektivitas diplomasi internasional dalam menarik investasi hijau, seperti melalui inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP), dapat terganggu karena dominasi skema pinjaman dibanding hibah, yang berisiko meningkatkan beban utang.
Ketiga, fungsi pembinaan dan koordinasi dengan pemerintah daerah dalam implementasi proyek energi baru terbarukan (EBT) juga bisa terhambat. Hal ini menempatkan Indonesia dalam posisi rentan kehilangan momentum kompetisi transisi energi global. Keterlambatan dalam pembangunan EBT berskala besar dapat menurunkan daya saing nasional di kawasan ASEAN dan menghambat investasi asing di sektor otomotif.

Belajar dari Negara Lain: Skema Inovatif untuk Pendanaan Transisi

Indonesia sebetulnya dapat mengadopsi praktik pendanaan inovatif dari negara lain. Pemerintah Prancis, misalnya, meluncurkan dana sebesar EUR 50 juta untuk melatih kembali pekerja industri pengecoran logam agar mampu beradaptasi dalam produksi kendaraan listrik. Sementara itu, pemerintah Bogot di Kolombia menggunakan model bisnis inovatif yang memungkinkan konsorsium swasta menyediakan bus listrik bagi sistem transportasi publik. Skema ini berhasil mengintegrasikan 484 bus listrik ke dalam armada kota. Model bisnis ini menggambarkan kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta yang penting dalam menciptakan skema pendanaan untuk mendukung transisi energi bersih di sektor otomotif.

Di tengah anggaran cekak, adakah jalan tengah mempercepat transisi kendaraan listrik?

Di tengah keterbatasan anggaran akibat efisiensi fiskal, Indonesia masih memiliki peluang untuk memaksimalkan transisi kendaraan listrik. Salah satu strategi adalah pemanfaatan skema pendanaan inovatif seperti blended finance, yang menggabungkan dana publik dan swasta, termasuk hibah serta pinjaman lunak dari lembaga internasional seperti Climate Investment Funds (CIF) dan Asian Development Bank (ADB). Skema carbon pricing dan emission trading system (ETS) juga dapat menjadi sumber alternatif, di mana pendapatan dari pajak karbon dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur kendaraan listrik.

Kemitraan dengan sektor swasta dan lembaga keuangan menjadi langkah strategis. Pola kerja sama pemerintah-swasta (public-private partnership/PPP) bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur stasiun pengisian daya tanpa membebani APBN. Selain itu, penerbitan obligasi hijau (green bonds) dan skema pembiayaan berkelanjutan juga dapat mendorong pengembangan industri kendaraan listrik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun