Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sebuah "Permainan" Bernama Sepak Bola

9 Maret 2019   20:21 Diperbarui: 10 Maret 2019   22:03 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi | sumber: twitter.com/@bola_jakarta

Sepak bola memang sejatinya adalah sebuah permainan saat ia dimainkan dengan 11 orang. Lalu menjadi pertandingan ketika dimainkan 11+11 orang. Dan ketika dipertandingkan, maka ia menjadi sebuah "permainan".

Sepak bola Indonesia kembali membuktikan bahwasanya ia tak akan pernah selesai--bahkan berhenti--untuk dibicarakan. Beragam sudut pandangnya, mulai dari prestasi hingga politik, meski ia hanya sebagai permainan. Perbincangan paling anyar digunjing adalah soal ketidakbecusan PSSI dan skandal pengaturan pertandingan.

Mantan ketua PSSI Edy Rahmayadi ketika itu punya sederet kontroversi, terutama terkait pernyataan-pernyataannya di media. Mempertanyakan hak wartawan bertanya kepada dirinya, sepak bola yang baik harus dimulai dari wartawan yang baik, tindakan arogan dengan menampar salah seorang suporter, plus rangkap tiga jabatan sekaligus.

Melihat Ketua PSSI macam ini wajar saja bila para pencinta dan juga penikmat sepak bola Tanah Air muntab. Mereka ingin Edy meninggalkan kursi jabatannya dengan segera. Tagar #EdyOut pun menggema di media sosial, bahkan di ruang publik.

20 Januari 2019 Edy pun mengundurkan diri dari jabatannya dalam Kongres PSSI yang belangsung di Sofitel Bali Nusa Dua Beach Resort, Bali. Posisinya kemudian digantikan sementara oleh Joko Driyono.

Ia beralasan tak ingin mengganggu perjalanan PSSI ke depannya. Menurutnya PSSI adalah pemersatu bangsa. Ia juga ingin fokus bertugas sebagai Gubernur Sumatera Utara.

Mundurnya Edy tak lantas menjadikan sepak bola Indonesia bangkit dari tidur nyenyaknya. Sepak bola Indonesia justru, bak keluar dari mulut harimau masuk mulut buaya, meminjam istilah Darmanto Simaepa melalui bukunya berjudul Tamasya Bola. Adalah skandal pengaturan pertandingan yang menguak sisi gelap di balik gemerlapnya sepak bola Indonesia.

Dan persoalan semacam ini bukanlah barang baru. PSSI di bawah Nurdin Halid, Djohar Arifin, hingga La Nyalla Mattalitti pun punya cerita tersendiri. Pada intinya tak lepas dari skandal-skandal yang mencoreng nilai-nilai sepak bola. PSSI juga tak bisa disalahkan begitu saja. Kita harus melihat lebih jauh, karena ia hanyalah setitik debu di padang pasir.

Ada pepatah mengatakan kalau buah jatuh tak jauh dari pohonnya, atau istilah orang bule like father like son. PSSI adalah federasi di bawah naungan FIFA. Sementara FIFA adalah organisasi yang 'Mahakorup'--dan berjamaah.

Mei 2015, tujuh pejabat FIFA diciduk di markasnya sendiri, di Zurich, Swiss, oleh Biro Investigaasi Federal (FBI) terkait dengan putaran uang dengan jumlah tak wajar dan sempat 'mampir' ke sebuah rekening asal Amerika. Diduga, uang tersebut adalah hasil suap dan pencucian uang.

Kasus ini mulai tercium ketika ketika Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke dituding membagi-bagikan dana suap sebesar Rp 131 miliar kepada sejumlah pajabt FIFA lainnya. Dana itu diduga hasil suap untuk penyelenggaraan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan sembilan tahun lalu.

Selain untuk Piala Dunia 2010, Piala Dunia 2018 di Rusia dan 2022 di Qatar juga berbau suap. Surat kabar Jerman, Bild, pada 2017 membuka hasil laporan yang sudah tiga tahun tak pernah dirilis oleh penyelidiknya sendiri, Michael Garcia.

Laporan bernama Garcia Report ini membeberkan bukti-bukti bagaimana korupnya penyelenggaraan Piala Dunia 2018 dan 2022 mendatang. Salah satu kejanggalannya adalah, FIFA justru menjadikan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 yang jauh tidak siap ketimbang kontestan lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia.

Selain itu FIFA pun dinilai memaksakan penyelenggaraan di Qatar sehingga mengabaikan konsekuensi jadwal-jadwal turnamen di Eropa.

Apa yang terjadi di FIFA, sepatutnya kita curiga dengan yang terjadi di PSSI. Dan itu terbukti setelah beberapa pejabat PSSI ditetapkan sebagai tersangka oleh Satgas Antimafia Bola. Termasuk pejabat sementara pengganti Edy Rahmayadi, Joko Driyono alias Jokdri. Nama terakhir ditetapkan tersangka atas kasus pengerusakan barang bukti.

Ditangkapnya sejumlah pejabat PSSI menasbihkan kalau revolusi sepak bola adalah urgensi.

Tetapi benarkah demikian?

Rasanya tidak.

Apa sebab?

Pertama, sepak bola di Indonesia sudah terlalu dekat dan kuat dengan politik. Sebut bagian sepak bola mana yang tidak menyangkut dengan politik. Mulai dari daerah hingga pusat. Edy Rahmayadi adalah contoh paling sahih.

Persoalan lain, masih berkaitan dengan politik, adalah aspek hak siar.

Kita tahu televisi-televisi di Indonesia sudah banyak berafiliasi dengan partai politik. Itu tak lain digunakan untuk memuluskan kepentingan politik. Salah satunya adalah dengan menyiarkan sepak bola--selain menguasai PSSI tentunya.

Menyiarkan sepak bola adalah kampanye politik paling efisien, efektif, dan murah. Sebab, tidak ada tempat kampanye partai politik yang akan mendapat atensi sangat besar dengan segerombolan orang-orang bersemangat selain di lapangan sepak bola.

"Jika Anda bisa mengontrol sepak bola, berarti Anda sudah setengah jalan menguasai Indonesia," begitu kata seorang pejabat senior di PSSI (yang tidak disebutkan namanya), mengutip Deutsche Welle Indonesia (25/05/2013).

Ketiga, melihat masih banyaknya pemimpin rezim PSSI selalu membawa jargon kosong yang sama seperti Indonesia bersih dari mafia hingga--paling bernilai jual tinggi--Indonesia menuju Piala Dunia rasanya revolusi sepak bola Indonesia tak ubahnya utopia belaka.

Terakhir, dan ini yang paling saya percaya dan yakin benar: mungkin kita salah melihat sepak bola selama ini. Sepak bola memang sejatinya adalah sebuah permainan saat ia dimainkan dengan 11 orang. Lalu menjadi pertandingan ketika dimainkan 11+11 orang. Dan ketika dipertandingkan, maka ia menjadi sebuah "permainan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun