Kasus ini mulai tercium ketika ketika Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke dituding membagi-bagikan dana suap sebesar Rp 131 miliar kepada sejumlah pajabt FIFA lainnya. Dana itu diduga hasil suap untuk penyelenggaraan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan sembilan tahun lalu.
Selain untuk Piala Dunia 2010, Piala Dunia 2018 di Rusia dan 2022 di Qatar juga berbau suap. Surat kabar Jerman, Bild, pada 2017 membuka hasil laporan yang sudah tiga tahun tak pernah dirilis oleh penyelidiknya sendiri, Michael Garcia.
Laporan bernama Garcia Report ini membeberkan bukti-bukti bagaimana korupnya penyelenggaraan Piala Dunia 2018 dan 2022 mendatang. Salah satu kejanggalannya adalah, FIFA justru menjadikan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 yang jauh tidak siap ketimbang kontestan lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia.
Selain itu FIFA pun dinilai memaksakan penyelenggaraan di Qatar sehingga mengabaikan konsekuensi jadwal-jadwal turnamen di Eropa.
Apa yang terjadi di FIFA, sepatutnya kita curiga dengan yang terjadi di PSSI. Dan itu terbukti setelah beberapa pejabat PSSI ditetapkan sebagai tersangka oleh Satgas Antimafia Bola. Termasuk pejabat sementara pengganti Edy Rahmayadi, Joko Driyono alias Jokdri. Nama terakhir ditetapkan tersangka atas kasus pengerusakan barang bukti.
Ditangkapnya sejumlah pejabat PSSI menasbihkan kalau revolusi sepak bola adalah urgensi.
Tetapi benarkah demikian?
Rasanya tidak.
Apa sebab?
Pertama, sepak bola di Indonesia sudah terlalu dekat dan kuat dengan politik. Sebut bagian sepak bola mana yang tidak menyangkut dengan politik. Mulai dari daerah hingga pusat. Edy Rahmayadi adalah contoh paling sahih.
Persoalan lain, masih berkaitan dengan politik, adalah aspek hak siar.