Saya tahu Anda lelah. Saya tahu Anda merasa terhimpit. Saya tahu kadang Anda bertanya"Apakah ini semua ada gunanya?", terkadang Anda berpikir "Batu kalau direbus, tetap saja Batu". Tapi ingat, murid bukan batu. Mereka adalah api yang perlu dinyalakan, benih yang butuh waktu untuk tumbuh. Dan Anda, Anda adalah tangan yang sabar, suara yang menuntun, cahaya yang membimbing.Â
Percayalah apa yang Anda lakukan itu penting. Bukan karena Anda berhasil memenuhi semua CP dan TP. Bukan karena nilai murid Anda tinggi. Tapi karena Anda adalah satu-satunya orang yang bisa mengajari mereka bagaimana berpikir, bagaimana memilih, dan bagaimana menjadi manusia yang utuh.
Filsafat klasik mengajari kita bahwa pendidikan itu bukan sprint, tapi maraton. Bukan tentang hasil instan, tapi tentang pembentukan karakter yang butuh waktu, kesabaran, dan konsistensi. Dan hasilnya mungkin baru terlihat bertahun-tahun kemudian. Saat murid Anda dewasa, menghadapi masalah dan dilema, Ia teringat pelajaran Anda tentang kejujuran, ketelitian, atau keberanian bertanya.
Jadi, lepaskan apa yang tidak esensial. Fokus pada apa yang benar-benar penting: nalar yang jernih, karakter yang kuat, dan tanggung jawab pada kebenaran. Tiga hal ini tidak akan pernah usang, tidak akan pernah digantikan AI, dan tidak akan pernah kehilangan makna. Selalu diingat bahwa pendidikan sebagai perjalanan panjang dari kegelapan menuju cahaya, dari ilusi menuju realitas. Prosesnya tidak instan, tidak mudah, dan sering kali menyakitkan. Tapi itulah yang membuat pendidikan bermakna. Transformasi sejati butuh waktu dan kesabaran.
Penutup: Kembali ke Esensi
Di tengah hiruk pikuk reformasi pendidikan, tuntutan administratif, dan gempuran teknologi, filsafat pendidikan klasik mengingatkan kita pada satu hal sederhana Pendidikan adalah tentang membentuk manusia, bukan sekedar menuliskan dokumen.
Socrates tidak punya PowerPoint. Aristoteles tidak punya rubrik asesmen. Tapi mereka berhasil membentuk generasi pemikir yang mengubah dunia karena mereka fokus pada esensi: dialog, penalaran, dan kebajikan.
Kita bisa melakukan hal yang sama. Tidak dengan menambah beban, tapi dengan menyederhanakan fokus. Tidak dengan mengikuti semua tren, tapi dengan kembali ke tujuan sejati pendidikan.
Karena di akhir nanti, yang akan diingat murid bukan berapa banyak materi yang Anda sampaikan, tapi bagaimana Anda mengajari mereka berpikir, memilih, dan menjadi manusia yang lebih baik.
Dan itu, adalah warisan yang tak ternilai.
Semangat Bapak/Ibu Pendidik!