Mohon tunggu...
Ida Ayu Purnama Bestari
Ida Ayu Purnama Bestari Mohon Tunggu... Dosen (Universitas Pendidikan Ganesha)

Sedang belajar menulis konten - konten pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Batu Direbus Tetap Batu, Mengapa Guru Membutuhkan Filsafat Klasik?

12 Oktober 2025   09:52 Diperbarui: 12 Oktober 2025   10:07 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi digital (Abacus.AI - Seedream 4.0) | Dokumentasi pribadi 

Bukan nilai 90 di rapor. Bukan hafalan rumus. Tapi kemampuan berpikir, kebiasaan bertanya, keberanian mengakui kesalahan, dan integritas dalam bertindak. Jika ini yang jadi kompas, maka banyak hal lain yang bisa Anda lepaskan atau sederhanakan.

2. Trivium sebagai Metode Praktis

Anda tidak perlu kurikulum baru. Cukup tiga prinsip:

  • Gramatika: Ajari murid mendefinisikan istilah dengan jelas. Misalnya, saat membahas "demokrasi" atau "fotosintesis", minta mereka jelaskan dengan kata-kata sendiri, beri contoh, dan bedakan dari yang bukan. Ini mencegah miskonsepsi dan melatih presisi berpikir.
  • Logika: Ajari murid menyusun argumen. Bukan sekadar "menurutku begini", tapi "menurutku begini karena A, B, C, dan ini datanya." Latih mereka menguji hipotesis, mencari bukti, dan mengakui jika salah. Ini adalah inti literasi informasi.
  • Retorika: Ajari murid menyampaikan ide dengan jelas dan bertanggung jawab. Bukan sekadar presentasi PowerPoint yang bagus, tapi komunikasi yang jujur, mengakui keterbatasan, dan menghormati sudut pandang lain.

Tiga hal ini bisa masuk ke semua mata pelajaran IPA, bahasa, IPS, bahkan olahraga. Dan yang penting ini bisa dinilai tanpa rubrik yang rumit. Cukup tanya: Apakah murid bisa menjelaskan dengan jelas? Apakah argumennya logis? Apakah ia jujur pada data?

3. Habitus dan Phronesis: Bukan Hanya Tahu, Tapi Terbiasa

Aristoteles bilang: kebajikan itu bukan pengetahuan, tapi kebiasaan. Murid tidak cukup tahu bahwa plagiarisme itu salah, mereka harus terbiasa mencatat sumber, mengakui keterbatasan, dan jujur pada data.

Caranya? Buat rutinitas kecil yang konsisten. Misalnya:

  • Setiap laporan praktikum harus mencantumkan "Apa yang berhasil, apa yang gagal, dan apa yang akan saya perbaiki."
  • Setiap diskusi kelompok harus ada aturan: "Kritik ide, bukan orangnya. Dukung argumen dengan bukti."
  • Setiap presentasi harus diakhiri dengan: "Ini keterbatasan temuan saya."

Kebiasaan kecil ini, jika dilakukan terus-menerus, membentuk karakter. Dan ini tidak butuh administrasi tambahan cukup konsistensi.

Menghadapi Gempuran AI dan Media Sosial

Banyak guru khawatir: "Murid saya lebih percaya AI daripada saya. Mereka lebih suka media sosial daripada buku. Mereka lebih mengidolakan idol K-Pop dan influencer media sosial daripada guru mereka. Apa gunanya saya mengajar?"

Kekhawatiran ini wajar. Tapi justru di sinilah peran guru menjadi lebih krusial, bukan sebagai sumber informasi (karena Google dan AI sudah lebih cepat), bukan sebagai selebritas yang harus bersaing dengan influencer, tapi sebagai pembimbing penalaran dan karakter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun