Buat sebagian Kompasianer, toko buku itu mirip klinik kesehatan jiwa dengan tarif gratis. Ada yang datang hanya untuk cuci mata dan menghirup bau kertas baru, lalu pulang dengan galeri ponsel penuh foto estetik.Â
Ada juga yang awalnya cuma niat cari satu judul, tahu-tahu pulang bawa tumbler, tote bag, plus sepiring penyetan yang entah gimana bisa ikut nyasar ke meja kasir. Kejadian itu bisa saja terjadi kalau mampir ke Warung Sastra di Jogja, tempat buku ketemu kopi, dan obrolan bisa lebih panjang dari daftar isi.Â
Dan jangan lupakan spesies pembaca yang sanggup berdiri berjam-jam di aisle, khusyuk melahap bab demi bab sample copy, seakan waktu dan dunia luar itu cuma catatan kaki. Â
Kuyang Lebih Mudah Ditemui daripada Toko Buku Â
Saya nggak bisa nongkrong, cuci mata, atau baca gratisan di toko buku kayak mereka. Di Ketapang, Kalimantan Barat, toko buku lebih mirip kuyang, sering disebut tapi jarang kelihatan.Â
Cuma, kuyang mungkin masih ketangkap mata warga, sementara toko buku sampai sekarang belum pernah masuk berita.
Ada isu, di mal sini pernah ada toko buku yang buka cuma tiga kali seminggu. Hari apa saja, hanya Tuhan dan admin mal yang tahu. Saya sempat datang ke mal itu, meski bukan untuk cari buku. Tanda-tanda keberadaan toko buku nggak saya temukan.Â
Jangan-jangan toko itu memang buka pintu kalau saya ketuk dinding tiga kali sambil nyebut nama Pramoedya, Idrus, atau Tan Malaka.
Fenomena ini agak susah diterima batin saya. Soalnya sebelumnya saya belasan tahun hidup di Jogja. Di sana toko buku nyaris kayak warung Madura swasta, ada di setiap sudut kota. Tinggal pilih mau yang rame atau yang biasa aja.Â
Aksesnya gampang, pilihannya melimpah, dan masalahnya justru di dompet saya yang selalu menipis lebih cepat daripada isi bukunya.
Drama Paket Buku dan DC Cakung Â