Tidak cuma di Jakarta atau Yogyakarta, di Purwokerto juga, fenomena "minta lima ribu" dengan wajah penuh drama sudah jadi pemandangan keseharian. Tapi, jangan salah. Ini bukan sekadar soal empati, tapi bagaimana kesedihan bisa jadi komoditas yang menguntungkan.
Saya baru saja turun dari Stasiun Purwokerto, menyebrangi peron, membawa semangat baru dan setengah kantuk sisa perjalanan dari Yogyakarta. Kebodohan saya dimulai dari keputusan impulsif: ambil tiket kereta terlalu pagi, mandi ayam, dan lupa sarapan.
Begitu keluar stasiun, sapaan abang-abang ojek pangkalan saya hiraukan dengan keangkuhan khas penumpang kere yang merasa tangguh. Saya jalan kaki, karena yakin akan menemukan sarapan murah. Sarapan ala rakyat jelata yang sering dilupakan pemerintah.
Ternyata benar. Beberapa langkah dari pintu keluar, saya menemukan angkringan di timur laut stasiun. Tanpa pikir panjang, saya pesan semangkuk mangut lele, sepiring nasi, dan es teh. Setelah semuanya sampai di meja, barulah saya sadar: saya tidak bawa uang tunai. Dompet saya lebih kosong dari tawa di grup WA keluarga.
Belum sempat saya menyusun rencana untuk mencari ATM, datanglah seorang ibu-ibu dengan motor tua yang aksesorisnya sudah lebih banyak hilang daripada harapan saya untuk makan dengan tenang. Motor itu mungkin lebih sering kehabisan bensin daripada saya kehabisan alasan untuk menunda mandi. Ibu itu menghampiri saya dengan wajah panik, sorot matanya seperti tokoh antagonis disinetron azab.
"Mas, saya mau ke Bumiayu. Minta tolong kasih saya lima ribu," katanya.
Kalimatnya singkat, tapi ada nuansa yang bikin saya merasa bersalah jika menolak. Seolah-olah saya baru saja menolak permintaan terakhir seorang sahabat.Â
Kisah Lama dengan Judul yang Beda-Beda
Saya tidak yakin apakah ibu-ibu itu betul-betul butuh lima ribu buat perjalanan ke Bumiayu yang jaraknya hampir 40 kilometer. Tapi wajahnya meyakinkan. Suaranya tenang. Motornya juga memang kelihatan sudah lama tidak diajak ke mana-mana. Kecuali (mungkin) ke stasiun untuk memelas ke tamu-tamu seperti saya. Maaf, suuzon sedikit.
Yang jelas, ini bukan pertama kalinya saya menemui adegan semacam ini.Â
Di sebuah terminal, saya pernah didatangi bapak-bapak yang katanya kehabisan ongkos dan cuma butuh puluhan ribu buat tambahan biaya pulang. Besoknya datang lagi, dengan cerita yang sama, mungkin hanya beda genre. Masih ingat fenomena "Mama minta pulsa" lewat SMS?Â
Lama-lama naik kelas, jadi "Papa minta saham", dibintangi mantan pejabat yang terlalu semangat investasi pakai nama mantan presiden.
Manusia kalau sudah kepepet bisa lebih kreatif dari Leonardo da Vinci. Kita yang disamperin jadi bingung sendiri: ini orang beneran butuh bantuan, akting, atau jangan-jangan bagian dari social experiment atau prank YouTube?Â
Saya sempat berpikir, kalau saya beri lima ribu, tiba-tiba ada kamera muncul dari balik angkringan, terus saya dapat voucher gratis menginap seumur hidup di vila milik Surya Paloh di kaki Gunung Slamet.
Menjual Empati untuk Bertahan Hidup
Di Purwokerto atau dimana saja, saat kota dibangun makin kompetitif, empati bukan cuma soal rasa. Ia bisa jadi komoditas yang nilainya lebih tinggi dari buku indie cetak berkali-kali. Menjual kesedihan bisa lebih cuan ketimbang jualan buku keliling yang sedang saya geluti.
Jangan kaget. Di medsos, ini sudah biasa. Orang buka donasi buat kucing mencret, ternyata kucingnya hasil sewa harian dari pet shop. Di dunia nyata? Tidak jauh beda. Cuma kurang filter dan takarir aesthetic-nya saja.
Kasus begini sebenarnya bukan barang langka. Di Yogyakarta, pernah ada pengemis tajir kena razia. Dalam seminggu bisa mengantongi 48 juta. Saya yang jualan buku sampai nungging, menghitung stok sambil jungkir balik, tidak sampai angka segitu sebulan.
Makanya, kalau ibu-ibu tadi minta lima ribu dan diberikan sama seratus penumpang yang merasa sedang diuji Tuhan, atau berharap ada kru YouTube menyamar di balik angkringan, berarti beliau bisa membawa pulang setengah juta sehari. Sebulan? Lima belas juta. UMR Purwokerto? Dua jutaan. Beda tipis. Tapi tipisnya 13 juta.
Tentu saja ini hitungan kotor yang ada di kepala saya. Tapi ya lumayan buat beli bensin, makan, dan cicilan. Sementara kita yang menyumbang? Dapat pahala... atau pelajaran.Â
Tergantung niat. Tapi kalau dihitung-hitung, hidup ini memang seperti investasi emosi. Kita tanam iba, mereka panen laba.
Dan saya? Masih duduk di angkringan, nasi mulai dingin, mangut lele sudah loyo, sambil berpikir: mungkin saya salah pilih profesi. Harusnya bukan jualan buku, tapi belajar bikin narasi menyentuh. Yang penting, nada suara rendah, mata berkaca, dan sedikit efek sinetron.
Mengemis sebagai Budaya yang Harus Dihentikan
Mengemis bukan lagi  sekadar cara untuk bertahan hidup, tapi sudah jadi bagian dari budaya. Dari generasi ke generasi, kita diajarkan bahwa kesedihan bisa jadi jalan pintas menuju cuan. Dan jangan lupa, sekarang "mengemis" bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya di jalanan, tapi juga lewat layar gawai.
Bukan berarti empati itu salah, tapi kalau empati sudah diperlakukan seperti komoditas yang bisa dipasarkan, ya kita harus bertanya: sampai kapan kita terus membiarkan budaya ini tumbuh dan berkembang?
Lihat saja jenama besar seperti Naiki atau Luwi Vitong. Mereka juga jual emosi; rasa keren, prestise, bahkan gaya hidup, tapi ya ada produknya.Â
Kamu beli sepatu, tas, atau pakaian bukan cuma beli janji-janji manis seperti pejabat saat nyaleg. Mereka jualan produk yang nyata, yang kamu bisa pakai dan rasakan meski belinya pakai cicilan.
Jadi, di negeri Wakanda yang katanya bakal melahirkan generasi emas ini (bukan emas pegadaian yang terus merangkak naik, tapi generasi yang akan menahkodai bangsa), mungkin memang benar adanya pepatah lama: malu bertanya sesat di jalan.Â
Tapi kalau malu berusaha, apakah jalannya jadi minta lima ribu sambil pasang muka kasihan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI