Dan saya? Masih duduk di angkringan, nasi mulai dingin, mangut lele sudah loyo, sambil berpikir: mungkin saya salah pilih profesi. Harusnya bukan jualan buku, tapi belajar bikin narasi menyentuh. Yang penting, nada suara rendah, mata berkaca, dan sedikit efek sinetron.
Mengemis sebagai Budaya yang Harus Dihentikan
Mengemis bukan lagi  sekadar cara untuk bertahan hidup, tapi sudah jadi bagian dari budaya. Dari generasi ke generasi, kita diajarkan bahwa kesedihan bisa jadi jalan pintas menuju cuan. Dan jangan lupa, sekarang "mengemis" bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya di jalanan, tapi juga lewat layar gawai.
Bukan berarti empati itu salah, tapi kalau empati sudah diperlakukan seperti komoditas yang bisa dipasarkan, ya kita harus bertanya: sampai kapan kita terus membiarkan budaya ini tumbuh dan berkembang?
Lihat saja jenama besar seperti Naiki atau Luwi Vitong. Mereka juga jual emosi; rasa keren, prestise, bahkan gaya hidup, tapi ya ada produknya.Â
Kamu beli sepatu, tas, atau pakaian bukan cuma beli janji-janji manis seperti pejabat saat nyaleg. Mereka jualan produk yang nyata, yang kamu bisa pakai dan rasakan meski belinya pakai cicilan.
Jadi, di negeri Wakanda yang katanya bakal melahirkan generasi emas ini (bukan emas pegadaian yang terus merangkak naik, tapi generasi yang akan menahkodai bangsa), mungkin memang benar adanya pepatah lama: malu bertanya sesat di jalan.Â
Tapi kalau malu berusaha, apakah jalannya jadi minta lima ribu sambil pasang muka kasihan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI