Di sebuah terminal, saya pernah didatangi bapak-bapak yang katanya kehabisan ongkos dan cuma butuh puluhan ribu buat tambahan biaya pulang. Besoknya datang lagi, dengan cerita yang sama, mungkin hanya beda genre. Masih ingat fenomena "Mama minta pulsa" lewat SMS?Â
Lama-lama naik kelas, jadi "Papa minta saham", dibintangi mantan pejabat yang terlalu semangat investasi pakai nama mantan presiden.
Manusia kalau sudah kepepet bisa lebih kreatif dari Leonardo da Vinci. Kita yang disamperin jadi bingung sendiri: ini orang beneran butuh bantuan, akting, atau jangan-jangan bagian dari social experiment atau prank YouTube?Â
Saya sempat berpikir, kalau saya beri lima ribu, tiba-tiba ada kamera muncul dari balik angkringan, terus saya dapat voucher gratis menginap seumur hidup di vila milik Surya Paloh di kaki Gunung Slamet.
Menjual Empati untuk Bertahan Hidup
Di Purwokerto atau dimana saja, saat kota dibangun makin kompetitif, empati bukan cuma soal rasa. Ia bisa jadi komoditas yang nilainya lebih tinggi dari buku indie cetak berkali-kali. Menjual kesedihan bisa lebih cuan ketimbang jualan buku keliling yang sedang saya geluti.
Jangan kaget. Di medsos, ini sudah biasa. Orang buka donasi buat kucing mencret, ternyata kucingnya hasil sewa harian dari pet shop. Di dunia nyata? Tidak jauh beda. Cuma kurang filter dan takarir aesthetic-nya saja.
Kasus begini sebenarnya bukan barang langka. Di Yogyakarta, pernah ada pengemis tajir kena razia. Dalam seminggu bisa mengantongi 48 juta. Saya yang jualan buku sampai nungging, menghitung stok sambil jungkir balik, tidak sampai angka segitu sebulan.
Makanya, kalau ibu-ibu tadi minta lima ribu dan diberikan sama seratus penumpang yang merasa sedang diuji Tuhan, atau berharap ada kru YouTube menyamar di balik angkringan, berarti beliau bisa membawa pulang setengah juta sehari. Sebulan? Lima belas juta. UMR Purwokerto? Dua jutaan. Beda tipis. Tapi tipisnya 13 juta.
Tentu saja ini hitungan kotor yang ada di kepala saya. Tapi ya lumayan buat beli bensin, makan, dan cicilan. Sementara kita yang menyumbang? Dapat pahala... atau pelajaran.Â
Tergantung niat. Tapi kalau dihitung-hitung, hidup ini memang seperti investasi emosi. Kita tanam iba, mereka panen laba.