Mohon tunggu...
Den Ciput
Den Ciput Mohon Tunggu... Penulis - I'm a writer...

Just Ordinary man, with the Xtra ordinary reason to life. And i'm noone without God.. http://www.youtube.com/c/ChannelMasCiput

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Alan | Elegi buat Gaby

16 September 2018   19:43 Diperbarui: 16 September 2018   20:07 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Okan.club

Alan duduk di kantin sekolah SMP Negeri 1. Sebuah sekolah di kecamatan kecil di kabupaten Kediri. Kali ini bukan sebagai siswa lagi, tapi sebagai penulis.

Ya..Alan menulis tentang dunia pendidikan di Indonesia. Selanjutnya nanti tulisan itu nanti akan ditulis dalam bahasa Inggris dan Jerman untuk sebuah media tempatnya berkoresponden. Sebuah media cetak dan elektronik yang berpusat di kota Stutgart, Jerman.

Tapi disini Alan hanya akan membuat dalam bentuk tulisan.

Alan sengaja memilih SMP Negeri 1 ini karena dia dasarnya gak asing lagi dengan SMP ini. Ada beberapa bapak ibu guru yang kebetulan masih ngajar disini. Dengan begitu bisa dengan gampang dia menggali informasi tentang dunia pendidikan.

Siang ini dia sengaja nonkrong di samping kantin, sebelah kiri gedung aula. Ada pohon waru disitu. Masih tetap kayak yang dulu.

Angin siang menerpa sejuk.

Hhmm...kalau gak kuat bikin ngantuk nih. Untung Alan membawa termos kecil berisi kopi hitam, setengah manis setengah pahit. Alan menuang kopi ke tutup termos. Matanya masih tetap menuju MacBook.

" Broo..." Alan terhenyak kaget. Gak mungkin suara siswa sini. Kan dia udah gak ada teman sekolah disini, mungkin  waktu Alan sekolah disini mereka-mereka ini masih...entahlah, masih jadi apa. Bisa jadi bapak -- emaknya aja masih belum ketemu.

Alan menoleh kearah suara berkumandang.

Yap! Pak Hendro, guru Geografi. Pernah juga ngajar Teknik elektro. Walau Alan bandel, tapi mereka cukup akrab. Sebandel-bandelnya Alan tapi masih diimbangi dengan otaknya yang brilian. Ehemm..

" Eh, bapak, gimana kabar pak...aduhh kangen juga nih! " Mereka berangkulan erat.

" Kamu....ternyata bisa jadi orang juga. Liat bandelnya setengah mati..hahahha."

" Ah bapak bisa aja. "

" O ya, Bapakmu, Pak Djumari udah purna tugas. Tapi kalau kamu mau mampir rumahnya, nanti sore kita kesana, okay? Sambil ngopi-ngopi kita Bro..." Nah lhoo..bahkan sekarang si bapak memanggilnya dengan sebutan gaul.

Pak Djumari adalah guru bahasa Inggris. DIsebut Bapaknya si Alan karena emang Alan anak kesayangan Pak Djumari. Nilai bahasa Inggris Alan selalu diatas rata-rata bocah desa. Entah gimana ceritanya, tapi Alan mahir banget kepada hal-hal yang berhubungan dengan bahasa.

Bahkan ketika tulisan ini ditulis, Alan bisa menuturkan tiga bahasa dengan Lancar.

Waktu itu, sekali aja Alan mendapat nilai delapan. Pak DJumari langsung Tanya, " kamu semalam gak belajar ya? Ini Cuma dapat delapan?" Pak DJumari menggeleng-gelengkan kepala, agak kecewa.

" Banyak hal yang udah berubah di SMP ini, tentunya perubahan kearah yang lebih baik. Seperti kamu, better and better day each day..hahaha"

Mereka tertawa bersama.

" Anyway pak, saya boleh merokok nggak nih? " Alan siap-siap mancabut bungkus rokok Kretek .

" Hhmm..sebenernya institusi pendidikan bebas asap rokok. Gak kayak dulu, kalian para murid dilarang merokok, sementara gurunya merokok. Sekarang nggak boleh gitu. Murid gak boleh merokok, apalagi gurunya. Intinya, guru harus mencontohkan perilaku. That's why lingkungan sekolah harus bebas asap rokok.."

" Jadi saya nggak boleh merokok nih? " Canda Alan.

" Ini kan agak jauh dari ruang guru atau kelas, cukup tersembunyi. Jadi merokok aja, asal jaga sikap ya. Aku tau, kamu tuh dari SMP udah jedal jedul rokok e, ingat ora pas Study Tour kamu tuh merokok di Bus sama kenek bus. Hahahah..potonganmu leee..."

Hahahah...Alan malu-malu lucu mengingat kenangan itu.

Usia akhil balik emang usia yang indah, masa-masa yang tak terlupakan. Masa dimana kita menjalani hidup tanpa beban sama sekali. Makan ada yang kasih. Sekolah tinggal sekolah, ada yang bayarin juga. Eh kalau dulu sekolah SMP yang bayarin ortu kita, sekarang mah pemerintah yang bayarin. Heheheheh

Alan mencabut sebatang rokok.

Settttt...menghisap dengan penuh rasa nikmat. Seteguk kopi panas membuat pandangannya terang...terang benderang kayak lampu dengan teknologi HDX. Terangnya gakmenyilaukan, tapi terang bening. Sebening wajah Luna Maya. Heheheheh

Pas lagi nikmat-nikmatnya menghisap rokok, mereka dikejutkan dengan kehadiran sesosok bening, berambut panjang, sebahu lebih. Kulitnya putih, tinggi sekitar seratus enam puluh senti.

" Ehemm.." dia menggumam, hidungnya ditutupin kayak alergi asap rokok. Tapi tak mengucap apapun. Alan angkat bahu.

" Go on, son...she won't tell about it..."

Alan nerusin merokoknya.

Tapi cewek berseragam Korpri itu malah duduk di bangku tak jauh dari mereka duduk.

" Mbak Maryaaamm...pecel masih ada nggak? Laper nih.." pekiknya.

" Masih Non..tunggu ya, lagi nyuci piring! " Mbak maryam masih disini? ! Mbak Maryam adalah pemilik kantin legendaries di sekolah ini. Heheheh, banyak kisah antara Mbak Maryam dengan Alan, menyangkut masalah utang piutang. Hahahahah...

Mbak Maryam tergopoh-gopoh membawa piring yang abis dicuci. Wajahnya tambah tua, tapi kelihatan sehat.

" Mbak, sejak kapan sih disini ada bau rokok?" SIndirnya pedas.

" Masak sih Non? Siapa yang merokok?" Mbak Maryam yang keheranan mengedarkan pandang  kesegala penjuru kantin. Alan pura-pura bego...

" Pak Hendro, kayak pernah melihat bocah itu,siapa ya? Yang dulu buandell itukan? Oooww iya, itu kan Alan! Ya ampunnnn! Piye kabarmu Le, cah ngganteng. Kerjo ning endi koe saiki? Eling aku pora? " Cecar Mbak Maryam. Mbak Maryam jadi lupa pesanan Bu Guru cantik itu.

" Yahh, mbak Maryam gimana sihh? Kan aku pesen nasi pecel, kok malah kemana-mana.." Bu guru justru melirik Alan kesal. Lama-lama Alan jadi ngerasa bersalah.

Akhirnya Alan membuang sisa rokoknya. Ya iyalah, lha wong udah habis juga. Masak puntungnya mau dimakan.

Tapi si cewek masih sewot.

" Tuh mbak, ladenin pembelinya dulu, nanti baru kita ngobrol.."

" O iya, maaf ya Non gaby, ini mas Alan namanya, dulu sekolah disini. Buandellnyaa minta ampun dulu. Itu bocah merokok dari jaman kolonial kali. Dari dulu gitu. Tapi kok ya sekarang jadi orang ya..." Mbak Maryam buka kartu.

" Mau rempeyeknya dong mbak. Sambelnya agak banyak ya.." seolah Bu guru cantik tak peduli dengan penjelasan Mbak Maryam.

Tapi tunggu..sesekali mata indah itu melirik. Alan pura-pura cuek.

" Bro, okay, bapak mau ngajar ya. Nikmati waktumu. Tanya apa aja yang kamu pengin tau. Kami pasti akan bantu.

" Pungkas Pak Hendro sambil beranjak.

"  Terima kash bapak...good luck ya.."

Alan mengelap MacBook dengan tisyu. Neguk kopi yang udah menghangat dari yang tadi panas. Seger banget.

" Mbak, saya boleh minta air minum ?"

" Buat kamu apa sih yang nggak?"

Alan melangkah mengambil air minum. Sejengkal jaraknya melewati Bu Gaby, nama bu Guru manis itu.

" Ibu baru ya disini?" Alan basa-basi.

Gaby yang sedang mengunyah makanan tak langsung menjawab. Menyelesaikan kunyahannya.

Alan tahu diri, dia hanya duduk beberapa jengkal dari Bu Gaby.  Untuk menghilangkan nervous-nya berkali-kali coowk berkacamata minus itu meneguk air minumnya.

Nervouse?

Alan selalu nervouse ketika dia sadar berbuat salah.

Dia pengin minta maaf. Sekalian...hhmmmm..

Ya sekalian kenalan lahhh!

Apa salahnya? Dia kesini untuk membawa satu misi demi kebaikan umat yang lain kan? Tapi barusan dia melakukan satu mistake.

Tiba-tiba seorang anak berumur sekitar tiga tahun menghambur.

" Mamaaa..."

Yahhh...alan tepuk jidat. Ternyata bu Gaby udah gak single lagi.

But,  the show must go on..

" Ibu gaby ngajar apa..? " Alan memberanikan diri .

" Saya ngajar IPA dan kesenian. Situ Alumni tahun berapa, kalau boleh tau? " sikap Bu Gaby berubah total. Mungkin karena ada si kecil..

Sambil nyuapin cowok mungil bu Gaby bebeapa kali mengucap sepatah dua patah kata. Intinya gak dingin kayak tadi.

" Saya udah puluhan tahun lalu bu."

" Ah, kita seumurah ngapain juga panggil ibu..ayo nak, mam ditemani om tuh..nih.." Cowok kecil itu membuka mulut sambil mata lucunya memandangi Alan. Lahap sekali makannya. Badannya berisi, bocah gagah. Alan menatap berbinar wajah polos situ. Yang diliatin seolah tau, mulutnya yang penuh nasi seolah tersenyum menyambut tatapan mata Alan.

" Adik manis siapa namanya? " Alan mengulurkan tangan.

" Raffael, Om...tuh ada om-nya, salamin gih? " Bocah tiu mengulurkan tangan mungilnya.

Alan berangsur menuju tas punggungnya, mengambil sesuatu...

" Nih om punya sesuatu buat Raffael.."

" Duhh...ngerepotin, hayo Raffa bilang apa ke Om, maka...makasihhh om.."

" Makacih Om.." Raffael tersnyum, giginya yang depan ompong menambah imut tampangnya.

" Umur berapa, bu?"

" Tiga tahun lebih dikit Om. Eh, kayaknya kita seumuran deh, jangan panggil bu dong. Jadi ngerasa tua nih..heheheh, " Kini kesan judes yang tadi dirasakan Alan udah hilang sama sekali.

" Yahh...Bu Gaby selain ibu guru kan ibu dari Raffael  juga. Jadi wajar kan kalau saya panggil ibu. "

" Lha Om bapak dari siapa, maksudnya udah ada anak juga kan? Maaf ya, saya manggil 'Om', manggilin Raffa. Gak papa kan? "

" heheheh..Puji Tuhan, saya masih sendiri." Alan terkekeh.

" Ahh..sendiri kan disini. "

"  Dulu waktu masih sekolah mas Alan suka pacaran disini, pacarnya namanya Yeni Ekowati, anak polisi tetangga saya, Non. " Mbak Maryam nyeletuk dari dalam.

" O ya? SMP udah berani pacaran? Hebat dong..tapi kalau dilihat tampangnya yang model kayak gini yang ngabisin stok cewek mbak.." Gaby menimpali.

Mereka ngakak bareng. Dari tadi raffael bengong melihat para orang tua ngobrol. Matanya tak lepas dari Alan. Mulutnya selalu penuh nasi. Alan yang sesekali melirik merasa terhibur.

" Rapaaaa.." Suara perempuan kira-kira empat puluh tahunan memekik. Berpakaian baby sitter. Pengasuh Raffael .

" Tuh di panggil ibu, Nak.." Gaby nunjuk baby sitter.

Raffael menghambur.

" Baru satu ya Bu, eh..mbak Gaby..?"

" Iya..." Raut wajah Gaby berubah, " Mbak, saya mau masuk kelas dulu, bayarnya ntar pulang sekoalh ya. Dompet saya di ruang guru."

" Udah biarin sama saya aja ntar bayarnya.." Potong Alan

" Yeee..jangan, biarin aja..saya amsuk kelas dulu ya Mas Alan. " Gaby beranjak.

" Ok..see you, "

Alan melepas kacamatanya, menghelas nafas. I made a mistake....ucapnya dalam hati.

Selesai membuat summary tulisan, Alan beranjak ke parkiran mobil. Jarum jam menunjukkan pukul dua belas.

Lagi panas-panasnya.

Alan mengedarkan pandang ke segala penjuru sekolah. Suasana seperti ini udah dirasakan puluhan tahun lalu.

Masa --masa manis.

Di sebelah barat gedung sekolah masih tetap seperti dulu, rumah seorang kaya di kecamatan yang cenderung tertutup. Dari dulu ya seperti itu. Bahkan sampai sekarang Alan tidak tahu nama pemilik rumah. Hanya saja bagian samping dekat dapur, dulu pernah ada yang jualan. Pembantu si tuan kaya. Namanya kalau nggak salah mbok Pon. Ya itu saja yang Alan tahu.

Sementara sebelah baratnya seruas jalan kecil yang menghubungkan Desa wates ke jalan Raya Wates. Sebelahnya lapangan, di depannya kantor Kades, sampingnya Koramil, di sampingnya lagi ladang tebu. Semua masih seperti itu.

Itulah kondisi kota kecamatan ini. Jauh..sangat jauh lebih statis dari koa besar macam Jakarta. Sangat beda dinamikanya. Di Jakarta mana bisa lihat lahan kosong. Dikit-dikit, bangun Mall. Dikit-dikit, bangun Apartemen. Dikit-dikit, bangun sentra bisnis.

Ahh...sudahlah, ngapain ngurusin gilanya orang Jakarta.

Alan melangkahkan kakinya ke tempat mobilnya diparkir di depan sekolah. Alan sengaja lewat gang kecil yang membatasi sekolah dan rumah orang kaya sebelah sekolah. Dulu pas lewat ruang-ruang kelas gini, biasanya sambil teriak-teriak norak. Ngeledekin teman lain kelas yang lagi belajar. Biasanya pas jam-jam pelajarang yang mengharuskan mereka beradas di luar ruangan. Pelajaran olahraga misalnya.

Gila...kayak balik ke jaman dulu lagi nih. Alan menyimpan senyumnya. Entah geli, gembira atau apa..yang penting senyum aja. Bodo amat dianggap gila, yang penting senyum aja. Yang penting happy aja. Sebodo teuing!

Saking asyiknya matanya meleng, dan, " Brukk!" tubuhnya menabrak sesuatu. Yang jelas bukan tembok, karena tembok nggak bisa teriak. Tapi yang barusan ditabrak bisa teriak, walau tertahan.

Buku yang tadi dibawa berhamburan, Alan membantu memungutinya.

Alahhhh...ini kan kayak di sinetron-sinetron!

Si cowok atau cewek meleng, tabrakan, bukunya berhamburan, lalu mungutin bersama, saling pandang, satunya malu. Satunya terpesona. Basi aahhh...

Entah dipopulerkan oleh siapa adegan kayak gini.

Yang jelas kita sering, puluhan bahkan ratusan kali melihat adegan kayak gini. Biasanya selain di sinetron Indonesia, ada di film Bolywood modern.

Sumpah!

Sebenernya adegan kayak gini menyebalkan. Yang nonton udah bosan. Hahahah

Tapi, " kayak di sinetron.." Alan mengangsurkan buku-buku Gaby.

" Yahh..namanya accident mas, " Gaby tersipu malu.

Tuhhhh kan...adegan itu lagi. Bodoh ah, yang penting saya nulis.

" Maaf ya mbak Gaby. Sekali lagi maaf, hari ini membuat si Mbak sebel dua kali..."

" Gak papa kok mas, makasih buat coklatnya ya, Raffa suka coklat.." Gaby tersenyum manis. Seumpama chatting simbolnya kayak gini  

" Saya pamit dulu ya, mau balik ke rumah, besok saya harus nyusun tulisan lagi, Auf Wiedersehen.."

" Auf Wiedersehen.."

Alan menuju Cherokee biru.

Perlahan Alan mengemudikan mobil sambil ditemani lagu-lagi blues Eric Clapton.

Sepanjang jalan Alan mengedarkan pandang ke hamparan hijau ladang tebu dan sawah di sisi jalan. Indahnyaaaaa....terlalu sayang untuk mengemudi ala Jakarta yang sellau terburu-buru.

Dulu setiap kali pulang sekolah Alan selalu mampir di warung es yanga da di pinggir sawah. Atau sekedar meminta tebu ketika ada tebu yang dipanen.

Asal dimakan ditempat pasti dikasih sama yang tukang tebang tebu. Hal itu dilakukan kalau misalnya mereka, Alan dan teman-temannya kehabisan duit jajan.

Ahhh..kemana mereka sekarang ya.

Sebangsa si Agung, Budi,dan lain-lain.

Agung ini anak orang kaya dulu. Tapi ketika ditelisik ke alamatnya, mereka sudah tidak di sana lagi. Bapak Agung udah meninggal. Mereka pindah entah kemana, tak ada yang tau.

Si Budi tetap nerusin usaha bapaknya, tani tebu.

Aaahh...waktu demikian cepat menggilas kita. Siap tak siap kita harus bisa menerima segala perubahan. Terhadap kita, sekeliling kita.

Bukankah Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling pintar beradaptasi.

Hari kedua

Alan nongkrong di warung nasi pecel tak jauh dari sekolahnya. Menikmati sepiring nasi pecel khas Kediri. Ini menu sarapan khas Kediri.

Menunya terdiri dari pecel, lauk Tahu atau tempe Goreng, plus rempeyek. Simple, gak terlalu spicy. Buat orang Kediri perantauan, menu seperti inilah yang selalu menimbulkan homesick.

Kalau sekedar pecel banyak.

Ada paduan pecel yang disebut Tumpang.

Tumpang tuh sayur yang berbahan dasar tempe, bukan tempe segar. Tapi tempe yang udah 'nginap'. Tastenya khas banget.

Sebagai dessert cukup kopi.

Dan...rokok!

Alan mencabut sebatang. Menghirup nikmat racun nikotin itu. Jalanan ramai oleh kendaraan bermotor. Sepeda motor dan beberapa mobil.

Selesai sarapan Alan memasuki gedung sekolah.

Pas memasuki halaman bertemu dengan Bu guru Endang. Tapi Bu Endang gak asing lagi walau lama gak jumpa secara fisik, karena mereka berteman di sosial media untuk menyambung silaturahmi.

Jadi hubungan mereka akrab sampai sekarang.

" Ehh anak ibu. Iya, kata pak Hendro kemarin cerita, katanya mau bikin tulisan tentang apa...itu...hhmm, tentang sistem pendidikan di Indonesia. Katanya untuk di kirim ke media Jerman ya nak? Wahhh, hebat ya sekarang, liat dulu kamu badung kayak gitu.."

Alan garuk-garuk kepala yang gak gatal.

" Eh, hhmmm...iya bu, ah, cuma kontributor kok bu. Kebetulan saya ambil cuti dari kantor, kesempatan untuk ngirim kontribusi ke media Jerman itu.." Alan malu-malu.

"Ooomm..." teriakan imut itu terdengar.

Ahhh..Raffael.

Kali ini mereka bertiga, Gaby, Baby sitter, dan Raffael.

" Pagi Raffa, " sapa Alan riang.

Alan berjalan disamping mereka bertiga.

" Mas Alan nih wartawan ya? " buka suara. Suara pertama dipagi itu. Buat Alan, itulah wajah paling manis di kota ini yang ditemuinya. Dulu sih ada seraut wajah manis juga, teman sekolahnya. Tapi entahlah, dia kemana sekarang.

" Saya kontributor media asing yang berpusat di Stutgart, Jerman.."

" Ooww...dulu alumni tahun berapa? "

" Saya baru sekitar sepuluh tahun lalu lulus, lulus kuliah juga belum terlalu lama. Baru dua tahun lalu kok.."

" Kuliah dimana dulu, "

" Saya under graduate  dari   Macquarie university Of Sydney, New South Wales..." Alan berucap datar, tanpa nada meninggikan diri.

" Wah, lulusan salah satu alumni SMP ini ada yang lulus dari Ostrali.." Puji Gaby . Jujur, Alan tersanjung. Sangat tersanjung.

Di sekolah ini dulu tak pernah ada yang memujinya, karena Alan emang bandel. Sangat bandel. Kecuali...Pak Djumari! Guru bahasa Inggris. Gak tau kenapa, Alan emang tertarik dengan  dunia tutur kata alias bahasa. Sebenernya bukan hanya bahasa Inggris, semua bahasa Alan sukai.

Alan bahkan pernah meneliti, kenapa manusia di dunia ini punya bahasa yang berbeda-beda. Padahal dulu Tuhan menciptakan Adam dan Hawa dengan bahasa yang asama kan?

Lantas kenapa anak-cucu Adam menggunakan bahasa yang berbeda-beda?

Ah, sudahlah, itu akan terlalu panjang untuk diceritakan.

Alan melirik Raffael, tampak ceria.

" Eh, ayah Raffael kerja disini juga, atau .."

" Ayah Raffael bepergian...jauh dia bepergian, " Gaby berucap dingin, datar, " yuk Saya masuk dulu. Suster, tolong jaga Raffa ya. Tuh Om Alan juga mau kerja.."

Langkah Gaby menuju ruang guru meninggalkan tanya dibenak Alan yang entah kapan ada jawabanya. Kenapa nada suara Bu guru Gaby mendadak dingin begitu..?

Alan melangkahkan kaki kearah kantin, ngumpet cari tempat merokok. Mungkin dengan rokok ide-idenya muncul.

Bener saja, satu, dua, tiga hisapan dan seterusnya idenya mengalir lancar kayak jalan tol di Jakarta pas Idul fitri tiba. Sampai tak berasa jarum jam menunjukkan pukul sepuluh. Saat istirahat pertama tiba.

Para siswa berhamburan.

Alan buru-buru mematikan rokoknya. Tapi sebelum rokok itu mati...

" Lagi asyik nih? " Senyum Gaby mengembang. Duhhhh Gusti, legit banget sih senyumnya. Sesaat Alan tertegun dibuatnya. Tangannya yang mau mematikan rokok dilantai terhenti.

" Eh..i..iya, bu..eh mbak Gaby..." Terus terang aja Alan gugup.

" Udah, gak papa kok merokok. Itu hak kamu.." Aaarrgghhh! Kenapa Gaby panggil dia 'kamu'..adakah ni tanda dia mau lebih akrab dengan Alan.

Ahhh...buat apa sih, dia kan ada suaminya, udah ada anak pula. Gak pantes banget. Gak bakal terjadi kisah yang seperti itu. Gak boleh, gak bagus, dosa..dosa..pokoknya dosa...

Alan menolak perasaan yang tiba-tiba datang itu.

" Udah istirahat mbak? "

" Iya.." Gaby duduk didekatnya,bibirnya masih terus menyungging senyuman. Masih manis dan hangat. Seperti tadi pagi.

Gaby memandang Alan.

" Sebenernya, tiap orang berhak merokok, tapi tiap orang punya hak mendapat udara bersih. Jadi, kamu merokok atau tidak sih aku gak berhak ngelarang, tapi yahh...sekarang dilingkungan sekolah kan gak boleh ada asap rokok. Makanya aku kemarin sebel sama kamu..."

" Heheheheh" Alan hanya terkekeh. Tapi rokoknya udah dimatikan.

" Kenapa tertawa?" Canda Gaby menahan tawa. Gak tau gimana ceritanya, dan siapa yang memulai, mereka jadi akrab.

" Emang suamimu nggak merokok ya...? "

" Dulu suamiku perokok berat, tapi...ahhh, sudahlah, aku mau ngeliat Raffa ya..see you, " Gaby melambaikan tangan.

Alan angkat bahu.

Misterius.

Sambil ngetik-ngetik dibawah pohon, Alan pasang headset, denger musik. Lagu-lagu Phil Collins mengalun lembut dan menenangkan.

Siang harinya.

" Mamaa..." Suara imut Raffael memanggil mamanya yang baru keluar salah satu kelas.

Alan menghampiri Raffael.

" Eh itu ada Om yang kemarin kasih coklat. Salaman dulu sama om gih nak..." Gaby membungkuk.

Bocah manis itu menyalami Alan dan mencium tangannya.

" Om, coklatnya mana?"

" Hey, gak boleh nahh..."

" Ada, om udah bawa khusus buat Raffael. Nih dik..cepet gede ya.."

" Bilang apa, hayoo..."

" Makasih om.." Raffael tertawa riang.

" Mau bareng? " Alan menawarkan diri basa-basi. Bagaimanapun, Gaby gak udah tidak single lagi. Tapi kalau mau langsung ngelonyor juga gak enak kan?

" Ngerepotin nggak nih?"

" Aiih...mana mungkin ngerepotin, aku malah seneng bisa bareng Raffael, " Alan mengulurkan tangan hendak menggendong Raffael.

Raffael kelihatan nggak canggung, ikut dalam gendongan Alan.

Alan mengantarkan mereka sampai di depan rumah, karena rumah mereka kebetulan satu arah.

" Mampir dulu yukk.." Ucap Gaby pas sampai. Alan termangu.

Siapa sih yang gak pengin berlama-lama dengan wanita secantik ini, tapi dia istri orang, cuy!

Gak enaklah.

" Hhhmmm..." Hanya itu yang terucap dari bibir Alan.

" Raffael pasti akan senang kalau kamu mau mampir."

Alan mengangguk

Sebelum masuk rumah, Alan mengedarkan pandang ke sekeliling halaman rumah.

" Kenapa? " Gaby heran

" Mau cari tempat yang agak jauh, mau merokok bentarrr aja, gila, mulut asem bingit!"

Gaby hanya geleng-geleng. Menahan senyum. Entah senyum apa.

" Tuh di pojok teras aja ya...jangan deket-deket anakku. " Gaby wanti-wanti. Raffael rupanya ngerti. Dia menjauh selagi Alan merokok.

Pas selesai merokok, Alan dipersilakan masuk rumah.

" Eh, ayahnya Raffa belum pulang? "

" Hhmm, kamu mau minum apa? Panas, dingin?" Gaby mengalihkan topik.

" Yang anget juga nggak papa..."

Gaby masuk.

Tak lama kemudian membawa baki berisi gelas teh hangat.

" Minum dululah..." Gaby matanya mengamati Alan.

" Makasih ya..."

Alan menghirup minumannya.

Matanya beredar keseluruh ruangan. Rumah minimalis yang apik dan rapi.

Disisi kiri ruang tamu ada foto mereka bertiga, Raffa, Gaby, dan seseorang yang tampaknya ayah Raffael, menggendong Raffael kecil.

Tampak senyum bahagia ketiga insan itu...

Nggak ada rasa iri atau cemburu dihati Alan. Alan gak bakal merasa iri.

Kalau pun iri, maka rasa iri itu akan dipakai untuk menyemangati diri mencari pasangan hidup.

Tapi emang belum ada jodoh, mau gimana lagi?

Ada aja halangan ketika dia menjalin hubungan dengan lawan jenis.

Alan menghela nafas...

" Udah berapa lama merokok? " Suara merdu Gaby membuyarkan lamunannya.

" Ohh..udah lama. Kayaknya pas SMP kelas tiga deh. Waktu itu kami study tour. Pas duduk di bus sama kenek, saya merokok. Merokok pertama aku pusing, mual, lalu muntah-muntah. Tapi malah akuu terusin...hahahhahaah, " Alan tertawa. Kayak bangga gitu...

" Kamu tahu, Ayah Raffa meninggal karena kanker stadium terminal..."

Degggg!

Jantung Alan serasa mau lepas.

" Ma..maaf? "

" Iya, Ayah Raffa perokok berat. Makanya aku benci rokok, tapi aku gak membenci perokok, " ucapan Gaby menahan tangis, matanya berkaca-kaca.

" Sekali..maafkan aku.." Alan tak tahu harus berkali-kali mengucap maaf.

Tapi rasanya perbuatannya kemarin-kemarin bukan hanya membuat kesal Gaby, lebih dari itu, dia secara tak langsung mengingatkan Gaby pada almarhum suaminya.

Alan hanya menunduk..

" Al...masa depan kamu masih panjang. Jangan sia-siakan. Merokok tidak akan membuat kamu lebih baik. Merokok hanya akan merusak syaraf-syaraf kamu. Yakinlah.." Pesan Gaby.

" I know it...but it's too hard to leave it, aku telah berusaha."

" Asal ada niat, kamu pasti bisa. "

" Om, om gak bulu-bulu pulang kan? Lapa mau nyanyi buat Om...lagu jawa ya om...' Ning cetatiun balapan kuto colo cing dadi kenangan, kowe kalo aku..'.."

" Hahahaha, kamu lucu banget sih nak. Sini, om pengin peluk Raffael, " Alan mengulurkan tangan, Raffa langsung mendekat.

Pelukan Alan dirasa hangat oleh balita mungil itu.

Mata gaby berkaca-kaca melihat adegan itu...

Hari ketiga...

Alan packing barang-barangnya. Beberapa koper, berkas-berkas hard copy, kotak peralatan gadget berisi macbook, flashdisk, serta beberapa charger.

Pas membuka tas satunya, ada rokok sebungkus, masih utuh.

Alan memandangi sejenak benda yang telah puluhan tahun akrab dengan dirinya itu. Nggak pakai berat hati, Alan melempar kedalam parit yang ada diseberang jalan.

Alan tidak akan memberi benda itu kebada orang 'yang membutuhkan' .

Tidak akan!

Memberi kepada orang benda yang sifatnya racun, akan meracuni orang itu kan?

Sama kayak kita memberi derma kepada pengemis yang masih sehat dan kuat bekerja. Sekilas mulia, tapi menjerumuskan.

" Al..." Suara gaby, udah memakai seragam korpri, Raffael dalam gendongannya.

Raffael menatap tak mengerti, wajahnya penuh tanya..

" Om mau kemana? Pulang ya? Lumah om dimana cih? "

Terenyuh Alan melihat keduanya.

Hampir saja airmatanya jatuh. Tapi dia bisa menahannya dengan senyuman yang dipaksakan. Meski senyumannya agak gagal, tapi setidaknya dia tak sampai meneteskan airmata.

" Gaby..."

Hanya itu yang bisa terucap.

" Pintu rumah kami selalu terbuka untuk kamu..."

" Aku akan selalu mengingat kalian. Selama ingatanku belum hilang, " Alan mengangsurkan tangan meraih Raffael dari gendongan gaby.

Memeluk dan mencium kening bocah lucu itu.

" Om jangan pulangg...om jangan pelgiii!" Teriak Raffael pilu.

Tak lama kemudian, Grand cherokee biru tua itu menderum. Meninggalkan kisah yang tak akan pernah bisa dilupakan.

Perlahan terdengar lagu Eric Clapton mengiringi derum lembut Grand Cherokee biru tua itu

"...Would you hold my hand

If I saw you in heaven?

Would you help me stand

If I saw you in heaven?

I'll find my way

Through night and day,

'Cause I know I just can't stay

Here in heaven

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun