Oleh: Ahmad Syaifullah
Kebijakan tarif dan non-tarif merupakan instrumen vital dalam pengaturan arus barang impor, terutama di sektor-sektor strategis yang mempengaruhi perekonomian nasional. Penerapan kebijakan ini bertujuan untuk melindungi industri domestik, memastikan kualitas produk yang masuk, dan menjaga keseimbangan neraca perdagangan. Namun, implementasi kebijakan tersebut sering kali menimbulkan dinamika yang kompleks, terutama ketika berhadapan dengan kebutuhan industri akan bahan baku impor dan komitmen terhadap perjanjian perdagangan internasional.
Pada tahun 2024, pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan penting terkait kebijakan impor. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2024 yang menggantikan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Perubahan ini dilakukan sebagai respons terhadap berbagai tantangan yang muncul akibat pengetatan impor sebelumnya, yang menyebabkan penumpukan kontainer di pelabuhan utama seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Penumpukan tersebut terjadi karena keterlambatan penerbitan Persetujuan Impor (PI) dan peraturan teknis (pertek) untuk sejumlah komoditas, termasuk besi baja, tekstil, produk kimia, dan elektronik .
Permendag Nomor 7 Tahun 2024 membawa beberapa perubahan signifikan. Salah satunya adalah pengaturan ulang mengenai barang kiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI). Sebelumnya, pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman PMI diatur dalam Permendag Nomor 36 Tahun 2023. Namun, dengan revisi ini, pengaturan tersebut dialihkan ke Peraturan Menteri Keuangan, memberikan fleksibilitas lebih bagi PMI dalam mengirimkan barang ke tanah air. Namun, kebijakan ini justru memicu pergeseran perilaku di kalangan produsen manufaktur domestik. Banyak produsen yang sebelumnya fokus pada produksi dalam negeri kini beralih menjadi importir barang jadi dari luar negeri. Fenomena ini disebabkan oleh kemudahan impor yang diberikan, sehingga produk impor membanjiri pasar domestik dan menekan daya saing produk lokal. Kementerian Perindustrian mencatat bahwa perubahan ini mengancam keberlangsungan industri dalam negeri, terutama sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), yang mengalami penurunan permintaan akibat dominasi produk impor .
Pemerintah juga memberikan kemudahan impor untuk beberapa komoditas bahan baku industri. Misalnya, bahan baku fortifikan premix yang digunakan dalam industri tepung terigu kini dapat diimpor dengan persyaratan yang lebih sederhana. Sebelumnya, impor komoditas ini memerlukan Persetujuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) dengan pengawasan di kawasan pabean. Dengan aturan baru, hanya diperlukan LS dengan pengawasan post border, dan dapat diimpor oleh perusahaan pemilik Angka Pengenal Impor Umum (API-U) maupun Angka Pengenal Impor Produsen (API-P) .
Namun, kebijakan non-tarif yang diterapkan Indonesia mendapat sorotan dari Bank Dunia. Dalam laporannya pada Desember 2022, Bank Dunia mengkritik bahwa langkah-langkah non-tarif yang diterapkan Indonesia memberikan beban signifikan pada dunia usaha, setara dengan rata-rata tarif 30 persen, yang lebih tinggi dibandingkan negara lain di kawasan. Kebijakan ini dinilai mengurangi daya saing Indonesia di kancah global dan menimbulkan ketidaktransparanan dalam perdagangan internasional .
Menanggapi kritik tersebut, pemerintah Indonesia berupaya menyeimbangkan antara perlindungan industri domestik dan komitmen terhadap perdagangan internasional. Penerbitan Permendag Nomor 7 Tahun 2024 merupakan salah satu langkah konkret dalam menyesuaikan kebijakan impor agar lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan industri serta dinamika global. Langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menciptakan iklim perdagangan yang sehat dan kompetitif.
Di sektor pangan, pemerintah juga menetapkan kebijakan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 2024, pemerintah menambah kuota impor beras sebanyak 1,6 juta ton, sehingga total impor beras mencapai 3,6 juta ton. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap minimnya produksi beras dalam negeri akibat keterlambatan masa tanam. Selain beras, pemerintah juga membuka keran impor untuk komoditas pangan lainnya seperti gula pasir, daging sapi dan kerbau, serta jagung. Langkah ini diambil untuk memastikan ketersediaan stok pangan dan menstabilkan harga di pasar domestik. Namun, kebijakan impor pangan ini juga menimbulkan perdebatan mengenai ketergantungan terhadap impor dan dampaknya terhadap petani lokal.
Di sisi lain, pemerintah juga melakukan penyesuaian tarif bea masuk melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2024. Peraturan ini mengubah beberapa ketentuan dalam PMK Nomor 26 Tahun 2022 tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor. Penyesuaian ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan industri dan kebutuhan nasional . Selain itu, melalui PMK Nomor 11 Tahun 2024, pemerintah mengubah tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Korea Selatan. Perubahan ini mencerminkan upaya pemerintah dalam memenuhi komitmen internasional dan memperkuat hubungan dagang bilateral .
Untuk mengatasi dinamika dan ketidakseimbangan yang muncul akibat kebijakan tarif dan non-tarif terhadap barang impor, pemerintah perlu mengedepankan pendekatan kebijakan yang terintegrasi, adaptif, dan berbasis data. Salah satu solusi utama adalah memperkuat sinergi antar kementerian dan lembaga terkait agar regulasi yang dikeluarkan tidak tumpang tindih dan menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku industri. Pemerintah juga harus melakukan evaluasi dampak kebijakan secara berkala dengan melibatkan pelaku usaha, asosiasi industri, dan akademisi untuk mendapatkan masukan komprehensif. Selain itu, penting untuk mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) berbasis teknologi seperti big data dan AI guna memantau arus barang strategis serta mencegah lonjakan impor yang tidak terkendali. Dengan pendekatan ini, kebijakan impor dapat diarahkan untuk melindungi industri dalam negeri tanpa mengorbankan keterbukaan perdagangan dan kelancaran pasokan.