Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Interval

8 Maret 2016   10:30 Diperbarui: 10 Maret 2016   18:05 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Di suatu senja..."][/caption]

Setelah beberapa lama tidak bertemu bahkan kita masih memulainya dengan “apa kabar” yang datar (lagi). Seolah kata-kata itu lelah pula seperti manusia selepas perjalanannya yang panjang yang seperti ingin menegaskan kembali tentang jarak yang membentang di antara kita saat ini. Meskipun begitu kita melanjutkannya dengan obrolan-obrolan lain yang ringan, seperti komentarku tentang latar belakang suara yang cukup ramai atau tentang suaramu yang terkadang hilang entah kemana dan kita akan menyalahkan sinyal operator telepon seluler setelahnya. Jelas sekali bahwa kita adalah dua orang yang sedang berusaha membangun sebuah komunikasi yang baik. Sebenarnya aku ingin kau mengatakan bahwa kau rindu padaku. Berharap kau ingin lebih banyak tahu tentangku juga sedikit bermanja-manja denganku sehingga aku bisa mencurahkan isi hatiku saat ini. Bercerita banyak tentang pendidikanku, teman-temanku, dan tentang seseorang yang suka padaku. Ingin menegaskan bahwa kita dahulu akrab. Tetapi, seperti biasanya salah satu dari kita menyerah jauh sebelum pembicaraan semacam itu dimulai. Itu aku.

***

Selepas kematian ibu beberapa bulan yang lalu, aku tahu bahwa kau masih menyimpan kesedihan itu sendiri tanpa pernah kau bisa bagi padaku apalagi pada adik yang masih kecil. Yang masih perlu di usap air matanya karena ketika bangun di pagi hari dan tidak menemukan ibu di seluruh penjuru rumah, dia berlari dari kamar tidurnya menuju dapur, ruang tamu hingga teras dan berakhir di kamarmu dan ibu. Dia membangunkanmu pagi itu dengan teriakannya yang memanggil ibu.

“Kamu ingin makan apa?”

“Sudah tidak usah menangis, ada ayah di sini.”

Itulah yang kau katakan padanya. Kemudian pelan-pelan menuntun adik menuju dapur dan melapisi roti tawar dengan mentega dan menaburinya dengan meses seperti yang sering dilakukan oleh ibu. Kau tidak tahu betapa irinya aku dengan adik saat itu. Dia menangis di hadapanmu, mengungkapkan segenap perasaannya yang sedang duka dan kau membuatkannya sarapan pagi.

“Bagaimana kuliahmu?”

“Kapan akan mulai bersiap-siap berangkat ke Bandung?”

Ah, aku sudah mengira bahwa kau akan memulai pembicaraan denganku dengan cara begitu.

“Hari ini aku harus beli tiket.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun