Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Minah dan Berewok Pacarnya

28 Oktober 2021   12:01 Diperbarui: 28 Oktober 2021   12:45 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berewok, sumber: freepik.com via jakarta.tribbunnews.com

Sebetulnya, yang paling berhak mengomeli Lili dalam rumah itu sudah tentu ibu, yang telah melahirkan dan membesarkannya sedari kecil. Namun, yang selalu saja menjengkelkan dan berkali-kali membuat muak dengan terus-menerus memerintah adalah kakaknya. Sempat Lili berpikir untuk hendak meninggalkan rumah diam-diam.

Bayangkan, jika alarm ponsel berbunyi dengan nada teratur dan menyenangkan, suara kakaknya terdengar seperti petir yang menggelegar begitu saja tanpa pertanda. Tiada hujan, tiada angin, suara itu terus menyambar dan menusuk-nusuk gendang telinga Lili, sehingga mau tidak mau ia harus terbangun dari mimpinya.

"Lili!!! Kamu lho, mau tidur sampai kapan? Malu sama tetangga sebelah! Perawan kok malas kerja!"

Lili membuka mata. Ia mengucek-nguceknya dengan telunjuk. Ada sedikit kotoran menggantung di sudut mata. Kotoran itu menempel di kuku jari.

"Iya, iya, Kak, sebentar kenapa? Jangan bentak-bentak bisa?" jawab Lili setelah beranjak dari tempat tidur. Lili mengambil sapu lidi, mengibas-ngibaskannya pada permukaan tempat tidur. Setelah itu, ia menumpuk bantal dan guling di ujung kasur, lantas melipat selimut.

Barangkali Lili bisa saja mengabaikan atau bahkan melawan perintah kakaknya. Mereka sama-sama berposisi sebagai anak yang punya kedudukan setara di depan ibu. Kakaknya pun hanya berselisih tiga tahun lebih tua darinya.

Lili membuka pintu kamar. Dari kejauhan, terlihat ibu sudah sibuk membuat kue di dapur. Tangan ibu memegang mikser, seperti hendak mencampur telur dan tepung terigu. Setelah itu, pasti ibu memanggangnya dalam oven. Pemandangan yang begitu rutin disaksikan Lili setiap pagi, sebelum ia melakukan perintah-perintah kakaknya.

Seorang gadis berambut hitam panjang mendekati Lili. Rambutnya tergerai indah dan berbau wangi. Bulu matanya lentik sekali, sedikit meruncing pada setiap sudut, berwarna cokelat dan tertata rapi. Gadis itu menudingkan jari ke arah jam tangan di tangan kirinya.

"Sudah jam berapa ini, hah?"

"Iya, iya, Kak. Iya," jawab Lili sedikit menundukkan kepala.

Salah satu tangan pada gadis yang dipanggilnya Minah itu menggenggam sebuah sapu. Tangan lainnya memegang ujung pengki.

"Ayo, nyapu sana!"

"Yang bersih!"

Dengan langkah masih setengah sadar -- barangkali masih tersisa mimpi-mimpi indah semalam pada benak Lili, Lili berjalan menuju teras. Setelah itu, ruang tamu. Kemudian, ruang tengah, kamar kakaknya, kamar ibu, kamar dirinya, dan terakhir dapur.

Rute bersih-bersih yang selalu dijalaninya setiap pagi. Selalu pula diawasi mata Minah yang sesekali terbelalak karena kesal dengan sikap Lili yang malas-malasan. Minah tidak ingin adiknya begitu. Siapa lelaki yang mau melamar gadis pemalas? Mereka berdua sudah cukup umur untuk dipinang. Tahun ini, KTP Lili terbit.

"Kamu nanti kalau berumah tangga, jangan seperti itu. Siapa laki yang mau sama kamu?" kembali Minah berkhotbah. Ia berkacak pinggang, tepat di depan Lili, yang masih setengah hati mengayunkan tangan menggerakkan sapu. Badan Lili sedikit membungkuk.

Lili memang ogah-ogahan menyapu. Itu seharusnya bisa dikerjakan Marni, pembantu paruh waktu yang setiap pukul sepuluh pagi datang ke rumah.

Sudah tentu, pembantu itu yang pantas bersih-bersih rumah. Tetapi, di mata Minah lain. Marni yang bekerja hanya tiga jam sehari lebih cocok menghabiskan waktunya membantu ibu memasak kue, untuk dijual ke warung-warung kelontong terdekat. Minah tidak ingin ibunya kecapekan pada usianya yang sudah uzur. Minah pun tidak ingin, adiknya bermalas-malasan seperti bos besar saja.

Oleh sebab itu, dibuatlah sebuah cerita yang direka-reka Minah. Minah pun tahu dan kebetulan sangat pas, seputar selera lelaki yang disukai adiknya itu.

"Itu lihat, masih ada debu. Kalau nyapu yang bersih! Kamu tidak mau kan, nanti suamimu berewokan?" ucap Minah selepas membungkukkan badan dan mengusapkan telunjuk pada lantai putih itu. Sidik jarinya mendadak hilang, tertutup lapisan debu cokelat yang menebal.

Lili lekas menghiraukan perkataan Minah. Ia membesarkan mata, mengamati benar setiap ubin yang terinjak kakinya. Ia mengangkat telapak kaki. Benar saja, seperti Minah, telapak kakinya mendadak cokelat, tertempel lapisan debu.

Rumah mereka yang tidak terlalu luas dengan teras sempit itu berada tepat di depan jalan. Pastilah, debu-debu dan asap knalpot dari motor dan mobil yang melintas setiap hari membuat lantai teras rumah begitu kotor.

Minah sangat paham, apa yang dimimpikan adiknya. Suatu kali Lili pernah bercerita bahwa ia tidak suka dengan lelaki berewokan. Katanya, tampak kotor sekali. Apalagi nanti, ketika sedang berciuman setelah menikah. Betapa risi kulit Lili yang mulus itu bersentuhan dengan rambut-rambut kasar suaminya, entah siapa.

Lili tidak mau ada sedikit pun rambut baik di bawah hidung, dekat dagu, atau sekitar pipi. Baginya, rambut cukuplah di kepala. Impian Lili selanjutnya, ia ingin punya suami berkulit wajah putih dan bersih, seperti pacar Minah.

Perlahan, Lili mulai memercayai cerita rekaan Minah sebagai sebuah kebenaran, selepas ia mendapati pacar Minah datang pertama kali ke rumah. Dari dalam rumah, ia melihat Minah berlari cepat menuju pintu pagar. Minah membuka pagar, lantas berbicara entah apa ke pacarnya. Masih di atas motor, pacarnya membuka helm. Minah tiba-tiba mengeluarkan potongan kaca kecil dari saku celana.

"Lihat! Kamu kok gak bersih cukur berewoknya? Lihat tuh, masih ada sehelai rambut di situ," kata Minah sambil menampakkan sudut dagu pacarnya ke depan kaca. Pacarnya tertawa. Ia memang terburu-buru dari rumah. Ia tidak sempat memeriksa lagi hasil cukuran berewoknya sebelum berangkat menjemput Minah.

Lili hanya melihat mereka dari tampak belakang. Lili benar-benar tidak tahu, apa yang sedang mereka lakukan. Pacar Minah mengeluarkan alat cukur jenggot -- yang selalu sedia dibawanya setiap mendatangi rumah Minah -- lantas menyapukannya ke helaian rambut itu. 

Dengan cepat, rambut itu rontok, dan wajah pacar Minah dengan rahang kotak dan tegas itu kembali bersih. Benar-benar bersih, tanpa sehelai rambut pun di kulit putih wajahnya.

Itu yang diharapkan Lili. Dadanya selalu berdegup kencang ketika pacar Minah masuk ke dalam rumah. Belum sempat berkata, mata Lili lebih dulu melongo ke arah ketampanan wajahnya. Ingin sekali pipinya bersentuhan dengan pipi putih pacar Minah. Tetapi, apa daya, itu pacar kakaknya.

"Kamu kalau nyapu harus bersih. Jangan ada debu-debu ketinggalan," ujar Minah melihat Lili yang sedikit melamun. Tangan Lili pelan mengayunkan sapu. Lili memang suka melamun, membayangkan, pasti pacarnya nanti akan sebening wajah pacar Minah.

Ia menjadi yakin, bahwa karena kebiasaan Minah menyapu lantai dengan bersih, Minah berhasil mendapatkan pacar yang tanpa sedikit pun berewok di wajahnya. 

Dahulu, memang bagian Minah menyapu rumah. Tetapi, semenjak ayah mereka meninggal, Minah lebih fokus membantu ibu menjual kue. Pekerjaan rumah tangga seperti menyapu diserahkan kepada Lili.

Begitulah, Lili terus menyapu dengan penuh keyakinan. Barangkali hanya itu yang berhasil memupuk semangatnya untuk terus menyapu, ketika selalu saja dibentak-bentak oleh kakaknya.

Lantai pada teras, ruang tamu, ruang tengah, kamar Minah, kamar ibu, kamar Lili, dan dapur bersih sekali. Tidak ada setitik pun debu tertinggal. Ubin-ubin putih begitu kinclong, memantulkan sinar lampu yang menggantung di langit-langit. 

Pada sisi lain, Minah terus saja mengingatkan pacarnya untuk memastikan berewoknya bersih sebelum datang ke rumahnya.

...

Jakarta

28 Oktober 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun