Ada bau bedak bayi yang begitu harum dan sangat kukenali dari ujung ke ujung selendang itu. Selendang itu tidak begitu panjang, juga tidak begitu pendek, tetapi sudah cukup untuk menggendongku erat-erat dalam dekapan dada Yu Minah.
Yu Minah selalu memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Pada sela perbincangan ia dengan ibuku, kuketahui ia adalah seorang pengasuh bayi yang sudah terdidik dan begitu terlatih.
Ia sengaja datang dari desa, meninggalkan kenangan lamanya, untuk menyambut masa depan yang indah, yang selalu saja dipandang orang desa pasti ada di kota.
Meskipun sekadar pengasuh bayi, ia sadar bahwa ia harus belajar bagaimana cara mengasuh bayi yang benar dan sebaik-baiknya harus dilakukan, dengan terlebih dahulu menganggap semua bayi yang sedang diasuh adalah anaknya sendiri. Begitu kata pendidiknya di tempat pelatihan pengasuh bayi.
Pertama ia sulit mempraktikkan. Seiring pengalamannya mengasuh bayi dan bertambah banyaknya bayi-bayi yang telah diasuhnya, naluri keibuan muncul dan ia mulai sanggup merasakan dan menganggap bahwa semua bayi yang diasuhnya adalah anaknya.
Ya, ia sedang mencari separuh jiwanya yang hilang. Ia sedang mempertanyakan keberadaannya sebagai seorang wanita sekaligus ibu. Ia ingin seperti wanita-wanita lain di desanya.
Namun, karena anggapan kuno yang berkata bahwa mandul adalah sebuah kutukan, dan itu masih saja berlangsung serta dipercayai oleh sebagian warga desanya, dengan berat hati Yu Minah pergi ke kota untuk mencari separuh jiwanya.Â
Kukira, sebagian besar wanita juga akan merasakan bahwa jiwanya sebagai ibu menjadi utuh jika telah merawat dan membesarkan seorang anak, meskipun itu anak orang lain yang dianggapnya anak sendiri.
Yu Minah bersama keluarga kami hanya selama empat tahun. Ia bekerja dengan baik dan merupakan pengasuh bayi terbaik yang pernah dipekerjakan ibu. Berita yang kudengar, ia pergi ke tempat lain, kembali lagi untuk menggenapi separuh jiwanya, memberikan kasihnya secara tulus kepada bayi-bayi yang membutuhkan rasa sayang.
Aku harus pergi ke Yu Minah sekarang. Ia sempat meninggalkan lokasi alamatnya pada secarik kertas dan memberikan kepada ibu, kali-kali saja ibu ingin memperpanjang silaturahmi.
Siang ini, aku sudah sampai. Bersama kenangan-kenangan masa lalu yang indah. Bersama titipan amplop dari ibu yang begitu tebal. Bersama air mataku yang tidak kunjung berhenti.