Matanya memandangku dengan tulus. Ada segurat senyuman pada bibir keriputnya. Aku menangis. Aku berteriak kencang-kencang. Kucium bau badan yang begitu aneh, belum pernah kurasakan sebelumnya.Â
Siapa wanita ini sehingga tiba-tiba saja ia menggendongku? Mengapa ia memasang muka ramah tanpa alasan di depanku, padahal ia belum mengenalku dan kami tidak pernah bertemu sebelumnya? Mengapa ibu malah memberikanku padanya? Sudah tidak sayangkah ia padaku?
"Tenang, By, tenang. Ini Yu Minah. Ia baik kok," ujar Bu Lin yang telah melahirkanku itu. Yu Minah semakin mengayunkan tubuhku ke kanan ke kiri, dalam gendongan selendang merah yang begitu kuat tersangga pada lehernya, seraya ia bernyanyi sebuah senandung yang lamat-lamat kudengar merdu dan lebih merdu dari senandung ibu.
Sejak saat itu, Yu Minah terus ada bersamaku. Ia diberi tugas merawatku pada saat ibu sedang mengurus ketiga kakakku yang pada tahun itu bersamaan naik sekolah dasar. Ya, ketiga kakakku dilahirkan kembar, satu perempuan dan dua lelaki. Aku sendiri adalah anak terakhir yang berjarak enam tahun dari mereka.Â
Aku kira ibu kerepotan mengurus anak, sampai-sampai harus mempekerjakan Yu Minah. Belum lagi ibu harus mengurus ayah, yang terkadang kutangkap sering memasang muka cemburu karena ibu dirasanya lebih perhatian pada anak-anak.Â
Aku tahu, tidak ada seorang ibu yang tidak pernah hebat dalam keluarganya. Sudah mengurus anak, harus pula mengurus suami, bahkan terkadang lupa mengurus dirinya sendiri. Aku jadi merasa wajar jika ibu sesekali marah dan meluapkan emosi. Ia pasti sangat lelah.
Perlakuan Yu Minah padaku sungguhlah begitu hangat. Ia seperti bukan seseorang yang baru punya anak dan merawatnya. Tangannya begitu terampil merapikan alas tidurku di atas tempat tidur. Ia paham betul bagaimana membersihkan kotoranku, membilas bagian kemaluanku dengan air hangat, membuang popok yang sudah penuh noda dan menggantinya dengan popok baru, lantas memasangnya perlahan tanpa menimbulkan sedikit pun gesekan berarti yang bisa melukai kulit-kulit paha mulusku.
Ia juga cepat mengerti segala bentuk tangisku. Ketika aku menangis sedikit terisak, ia segera pergi ke dapur, membuka lemari dan mengambil beberapa bahan makanan, menyiramkan air panas ke atasnya dan menjadikannya bubur. Waktu aku menangis dengan kencang, seperti pertama kali ia bertemu denganku, secara sigap ia mengambil selendang merahnya -- sepertinya itu satu-satunya selendang yang ia punya -- lantas menggendongku dengan selendang itu.
Aku merasakan dekapan yang tidak kalah hangat dibanding ibu. Mata Yu Minah yang tulus memandangku selalu berhasil membawaku masuk ke alam mimpi.Â
Ayunan tangannya dan senandung merdunya adalah penenang terbaik dari segala pertanyaanku, tentang siapakah aku sebenarnya dan buat apa aku datang ke dunia, yang sebagian besar tersirat dalam tangis-tangisku, tetapi terkadang hanya dipahami oleh orang-orang di dekatku sebagai sebuah pertanda bahwa aku sedang ingin buang kotoran dan lapar minta makan.
Selendang itu polos berwarna merah. Serat-serat kainnya begitu lembut, sangat lembut kurasa, ketika pipiku bersentuhan dengannya.Â