Kulihat dari kejauhan, banyak pemuda dan pemudi berkumpul mengelilingi timbunan tanah dengan sebuah batu nisan di ujungnya. Pada batu itu, terlilit sebuah selendang merah yang sudah lusuh dan mulai koyak.
Keadaan ini tidak seperti dulu, yang hanya aku sendiri melayat di situ. Kutanyailah mereka satu per satu, yang sedang duduk, komat-kamit, seperti membaca doa. Alunan suara merdu, serempak menengadahkan doa ke langit, memohon tempat terbaik bagi Yu Minah.
Ini adalah tahun kedua Yu Minah berpulang kepada Yang Maha Kuasa. Ia tidak bercerita ke banyak orang, bahwa sebetulnya ada kanker ganas melekat di rahimnya. Barangkali itulah yang membuat ia tidak berani punya anak karena takut kanker itu akan menyerang anaknya. Sayang sekali, itu dianggap banyak orang sebagai sebuah kemandulan.
Para pemuda dan pemudi itu, layaknya aku, adalah bayi-bayi yang telah dibesarkan Yu Minah bersama gendongan selendang merah belasan tahun silam.Â
Aku percaya, kata ibu, semakin banyak orang yang mendoakan, langit akan tersentuh dan memberikan tempat terbaik bagi mendiang. Apalagi yang mendoakan adalah anak-anaknya. Ya, Yu Minah sudah punya banyak anak sekarang.
...
Jakarta,
9 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat