Agar tidak terjadi apa-apa dan pelayanan jadi lebih maksimal, harus ada penjaga mayat itu. Petinggi itu punya seorang anak lelaki. Karena tidak jelas tujuan hidupnya apa dan ia hanya luntang-lantung di rumah, menghabiskan berbungkus-bungkus rokok setiap hari yang sudah tentu membebani ongkos kehidupan sang petinggi, maka petinggi itu menyuruhnya bekerja sebagai penjaga mayat.Â
Namanya Mardi. Saya semakin kenal dengannya. Ia banyak omong, entah benar entah membual. Saya pikir banyak yang khayalan, sama sekali tidak masuk akal.
"Kamu daripada gak jelas hidup, jadi penjaga sana! Lumayan, dapat uang dari warga!" ujar petinggi itu waktu kami bertiga makan bersama di ruang tengah. Mardi hanya mengangguk. Tidak jelas apakah ia setuju. Ia memang suka mengangguk-angguk tanpa alasan.
"Lagian, bapak juga bingung. Modal apa kamu ngawinin Marni? Katamu, kau suka sama dia? Tapi bapak lihat, kau malah asyik jadi pengangguran. Bini mana yang mau sama orang pengangguran?"
Lagi-lagi Mardi mengangguk. Saya mau tidak mau menjadi tahu urusan keluarga mereka. Bahwa Mardi, anak satu-satunya petinggi itu, yang sekiranya seumuran dengan saya -- sedikit lagi mendekati tiga puluh tahun -- adalah anak yang diharap bisa membantu ekonomi dan membanggakan nama baik keluarga.
Benar juga yang dikatakan petinggi itu. Mana ada istri yang mau sama pengangguran? Mau makan apa nanti setiap hari di rumah? Saya menggumam saat sedikit lagi lauk ikan goreng di piring saya habis.
Bukti dari anggukan itu terjawab. Sudah beberapa hari Mardi beranjak bertugas menjaga kamar itu. Sebuah kamar yang sepi setiap malam. Hening dan sunyi menemaninya bekerja.Â
Bunyi jangkrik di taman sekitar terdengar begitu bising. Ia hanya duduk di kursi, meletakkan dagu di atas tangan, lantas menoleh ke kanan kiri, memastikan tidak ada yang mencuri. Matanya selalu awas menatap setiap gerak-gerik dan bunyi mencurigakan.
Ya, meskipun sebagian besar penduduk yang adalah penjahat sepakat dengan kebiasaan itu, masih ada saja yang bersikap nakal. Maklumlah, namanya juga penjahat. Ada beberapa mayat penjahat yang meninggal masih mengenakan perhiasan. Tentu, itu adalah bagian milik keluarganya, yang diharap bisa datang.
"Jul, kamu tahu gak?" tanyanya pada saya setelah beberapa hari ia bekerja.Â
"Tahu apa," jawab saya di kamar tidur. Kami sengaja tidur sekamar karena kecilnya rumah petinggi itu. Tempat tidur kami dua tingkat. Saya tidur di atas, dia di bawah.