"Masak, ada bunyi aneh dari dalam kamar itu."
Saya sedikit kaget. Bunyi aneh? Dari dalam kamar mayat? Saya tidak menjawab. Ia meneruskan perkataan.
"Malam kemarin, waktu saya duduk di luar, seperti ada bunyi peti mati bergeser. Ada gesekan di lantai. Bunyinya macam suara derit pintu."
"Terus-terus?" tanya saya sedikit memberanikan diri. Bulu tengkuk saya tidak seirama. Mereka sudah merinding.
"Lantas saya masuk ke dalam kamar. Saya periksa satu per satu peti. Tidak ada yang bergeser."
Ada suara angin berembus. Jendela kamar kami terbuka. Gorden melambai-lambai.Â
"Lain lagi kemarin lusa."
Mardi masih melanjutkan cerita. Saya semakin merinding. Saya mengambil selimut, lantas menutup sekujur badan yang gemetar. Ia bercerita sebelum kami tidur. Sial! Ada yang terbawa mimpi.
Tutup peti itu terbuka. Salah satu penjahat laki-laki yang saya ketahui mati karena sempat tertembak petugas sebelum sampai ke desa mendadak bangun. Rambut gondrongnya kusut menutupi sebagian wajah. Bibirnya tersenyum bersimbah darah, yang menetes dari sebelah hidungnya yang berlubang.
Ada lagi perempuan pelacur yang juga tiba-tiba bangun. Kabar terakhir sebelum meninggal, ia ditemukan seperti orang gila, sering tertawa sendiri di pinggir jalan. Ia duduk di atas peti. Tangannya memegang ujung tali tambang dan mengangkatnya ke atas. Lehernya tertarik. Ia meninggal bunuh diri dan entah kenapa tali itu tidak bisa terlepas dari lehernya.
Bapak yang tubuhnya bolong-bolong pada beberapa bagian di dada dan perut karena tertusuk oleh entah siapa, pun sering kali bergerak dan berjalan ke sana kemari saat benar-benar tengah malam. Ia seorang pembunuh berdarah dingin. Beritanya, ia dibunuh oleh pembunuh lain yang tidak menganggapnya adil dalam pembagian harta milik korban.