Selain itu, ada mayat-mayat lain yang tidak kalah berisik, sering tertawa, ngomong entah apa, saat orang sudah tertidur lelap. Mardi dari luar terkadang mengintip ke dalam lewat pintu kamar yang sedikit terbuka.
"Kok kamu tidak takut, Mardi, bekerja di sana?" tanya saya penasaran karena dia masih bertahan sampai saat menjelang saya harus meninggalkan desa karena tugas sensus sudah selesai.
Mardi hanya tertawa. Bukan tawa bahagia yang saya tangkap, melainkan tawa yang menyembunyikan kepedihan. "Ya, mereka saya anggap suka bercanda. Kalau tidak begitu, mau kerja apa lagi saya," jawabnya.Â
Ia tepat berdiri di sebelah Marni. Saya melihat bulu roma Marni tegang. Barangkali Mardi memilih bertahan agar dapur Marni bisa terus mengepul.
Semenjak ia menikah, Mardi menjadi lebih dewasa. Ia sudah tahu, hidupnya harus menjadi lelaki sejati dan wajib menafkahi bininya. Saya lihat ia semakin rajin bekerja. Upahnya sebagai penjaga kamar mayat ditambah oleh para warga, melihat tidak ada barang-barang pada mayat-mayat itu yang tercuri.
Sampai sejauh ini, saya masih mendengar Mardi masih bekerja sebagai penjaga kamar mayat di desa itu. Masih pula dari suratnya, ia bercerita bahwa mayat-mayat itu suka sekali bercanda. Masih sering bangun tengah malam. Ah! Saya tidak tahu, siapa yang sebetulnya sedang bercanda. Jangan-jangan Mardi sudah...
...
Jakarta
8 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat