Malam semakin pekat. Lampu di jalanan sudah redup. Angin berembus kencang, dingin menyayat tulang. Tidak ada seorang pun berjalan di sana. Daun-daun kering yang berjatuhan dari pohon bertebaran mengotori jalan.
Tiba-tiba isak tangis terdengar. Begitu kencang, membelah kesunyian malam. Suara itu seperti merengek-rengek, meminta tolong minta diperhatikan. Kian keras dalam kian larutnya malam. Entah, dari mana suara itu berasal.
Aku berjalan terhuyung-huyung seperti hilang arah di tengah jalan. Beban pekerjaan yang ada dan terus ada, semakin bertumpuk dan menyesakkan pikiran. Aku pun hampir jatuh jika suara itu tidak terdengar.
"Pak, ada suara?" tanyaku pada seorang penjual minuman di tepi jalan.
"Tidak ada, Pak," jawabnya sembari menoleh ke kanan kiri.
Aku belum tuli. Aku benar-benar mendengar tangisan.
"Bapak benar tidak dengar?"
Ia hanya menggeleng. Karena tangisan itu semakin mengganggu, aku mencarinya. Ada sepetak sawah di tepi jalan, terpisah dengan sebuah parit. Ilalang-ilalang tumbuh lebat di sana bersama padi yang telah menguning.
Aku mendekati tempat itu. Aku melompat menyeberang parit. Suara itu semakin jelas, seperti memanggilku ke sana. Dalam penglihatanku yang sedikit samar, kusibakkan ilalang-ilalang yang bertumpuk itu.
Aku tidak percaya. Mataku terbelalak. Apa yang kulihat di depan mata betul-betul mengejutkan. Ada sekotak kardus cokelat berisi seorang bayi. Bayi itu diselimuti handuk putih hangat. Ada warna merah di sana-sini, seperti darah. Aku membaui dengan benar. Ya, aku tidak salah. Itu bau amis darah. Kepalaku pusing.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!