Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Di Bawah Pohon Beringin di Taman Itu (Bagian 3)

25 Agustus 2021   08:36 Diperbarui: 25 Agustus 2021   09:54 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebuah bangku taman di bawah pohon Beringin, sumber: Pixabay.com

Cerpen sebelumnya: Di Bawah Pohon Beringin di Taman Itu (Bagian 2)

Angin dingin menyelusup dari daun ke daun, menyentuh setiapnya, membuatnya saling bergesekan, bersentuhan, menimbulkan irama yang tidak asing bagi sebagian orang yang begitu betah menghabiskan waktu di taman itu. Burung-burung gereja beterbangan dari satu batang ke batang lain, terus bersiul, menciptakan harmoni keindahan alam dalam sahutan.

Bunga Mawar merekah begitu sempurna, menebarkan wangi bersama sejuknya udara di bawah pohon Beringin. Beberapa bunga Anggrek ungu yang sepertinya sengaja ditempel pada batang pohon Beringin yang besar itu, tidak kalah indah mekarnya. Tidak jauh dari situ, berderet bunga-bunga Sepatu merah menyala dengan serangga kecil yang menempel di atasnya, hadir melengkapi cantiknya suasana.

Kau masih saja menggenggam erat tanganku sedari tadi. Meskipun kurasa keringat sudah bermunculan di tangan kita, kau tetap menggenggam. Aku sempat merasakan denyut jantungmu, yang terus saja berdetak cepat, lewat telunjukku yang memang sengaja kusentuhkan pada urat nadimu.

"Kamu kangen ya?"

Kau tidak menjawab. Kau tidak menatapku. Sorot matamu kau lemparkan ke sekeliling, mencoba beralih dari pembicaraanku. Pipimu mendadak berwarna merah.

"Jujur saja, kamu kangen ya?"

Kali ini detak jantungmu semakin cepat. Kau masih tidak menjawab. Kau memang begitu terkadang, malu-malu tetapi mau. Kebiasaan yang sulit kulupa saat ternyata kau marah karena aku tidak membelikanmu es krim, padahal kau sudah memberi isyarat begitu ingin. Sejak saat itu, aku berusaha peka.

"Denish."

Kau mulai berkata. Pelan sekali. Saking pelan, aku sampai harus sedikit menundukkan telinga.

"Iya. Kenapa?"

Aku tersenyum. Kau membalas senyum. Kutatap wajahmu lekat-lekat. Entah kenapa jantungku mulai berdetak kencang. Kita saling menatap. Pipimu semakin merah.

"...."

Terdengar suara seseorang bergumam. Seperti ada banyak hal yang ingin sekali diceritakan, tetapi tercekat dalam tenggorokan. Matamu sudah banyak berbicara, kendati kau tidak bersuara. Ada kenangan-kenangan indah tentang kita yang masih tersimpan di sana, yang aku tahu, kau sulit menghapusnya.

Awan putih berderet-deret terarak bersama angin, berpindah lambat-lambat, menutupi sang surya dan membuat suasana jadi teduh. Pohon Beringin tidak henti mengayunkan ranting, seperti memberi pertanda ia sedang suka melihat kembali sepasang kekasih yang dahulu selalu menghabiskan waktu bersama di bawah naungannya.

"Ting.... ting...."

Terdengar suara mangkuk dipukul. Seorang lelaki paruh baya mengendarai sepeda dengan gerobak berisi beberapa bahan makanan lewat. Gerobak itu masih sama seperti dulu. Berwarna putih kecokelatan, dengan untaian kabel lampu yang terpasang di setiap sudutnya. Ia selalu berjualan di taman itu sampai malam. 

"Denish."

Kau bersuara lagi. Kali ini telunjukmu terangkat. Aku mengerti.

"Bang, bakso dua porsi! Satu tanpa sambal, satu pedas sekali," kataku kepada lelaki itu. Ia turun dari sepeda, mengambil serbet dari bahu, lantas menyiapkan dua mangkuk bakso.

Aku tahu, kau paling tidak bisa menghirup aroma bakso. Kau selalu gagal menahan godaan betapa wangi kuah bakso yang disajikan panas-panas dengan potongan daun bawang dan taburan bawang goreng di atasnya. Hampir tidak pernah kau lewatkan sajian makan siang spesial itu di taman ini. Bagiku, sebetulnya rasanya biasa-biasa saja. Tetapi, entah kenapa kau bisa begitu lahap menikmatinya. 

"Kamu lapar ya?"

Kau tersenyum kecil. Lagi-lagi kau masih malu, tetapi dengan tegas menunjukkan isyarat. 

Apa setiap wanita memang harus ditebak? Apa memang mereka berharap kekasihnya harus gampang peka? Untung, sebagian besar isyarat tanganmu sudah sangat kuhafal.

Belum ada pembicaraan berarti siang ini, tetapi kehadiranmu sudah sangat berarti bagiku. Aku sangat ingin waktu berhenti, tanpa berlalu sedetik pun. 

Kita duduk berdua merasakan kehangatan cinta di sini. Aku suka menghirup betapa wangi parfum cokelatmu yang selalu berhasil membangkitkan kenangan manis masa lalu. Kendati kau pernah bersamanya, kau tidak melupakan parfum yang pernah kuhadiahkan saat hari ulang tahunmu. Masih kau pakai terus, sampai sekarang duduk di dekatku. 

Aku tahu, tanpa kau bicara, kau masih menaruh hati padaku. Semua usahamu datang ke sini kemungkinan besar karena itu. Aku rela kau tidak menjelaskan, yang penting kau tidak pergi lagi dariku. 

Terdengar suara langkah kaki. Abang tukang bakso berjalan di atas batu-batu.

"Ini ya," katanya sambil menaruh dua mangkuk bakso di atas meja di depan bangku kita. Kau langsung mengambil sendok garpu dan menyantapnya. Kau sedang lapar ya? Aku tersenyum melihatmu makan.

"Air, Bang, airnya?" seru seorang penjual air yang sedang lewat. Ia membawa beberapa botol plastik air mineral dalam kotak kecil di tangan.

"Boleh, Bang. Dua."

"Kamu mau yang dingin atau biasa?"

"Terserah," jawabmu.

Aku sebetulnya paling tidak suka dengan kata "terserah" yang terucap dari bibir perempuan. Tidak pernah ada kejelasan dan sangat rancu maknanya. Tidak pernah ada kebebasan lelaki memilih dalam kata itu. Yang kau ingin sebetulnya agar aku ingat apa kesukaanmu. Agar aku lebih memahamimu. Agar aku peka apa yang kau mau. Apa kau sedang mengujiku?

"Biasa, dua, Bang."

Penjual air itu mengeluarkan dua botol plastik dan menaruhnya di meja kita. Aku mengambil dua lembar uang lima ribu dari dalam dompet.

"Terima kasih, Bang." Aku memberikan uang itu.

Kau masih saja lahap makan. Aku belum menyentuh baksoku, baksomu tinggal setengah. Kau sebetulnya sedang lapar atau memang doyan? Selalu saja, setiap ada hidangan bakso, kau paling gagal menahan diri. Tetapi, aku suka, melihatmu kembali makan di sisiku. Entah, aku sampai lupa kapan terakhir kali kita makan berdua. Saking terlalu lama.

"Kamu tidak makan?" tanyamu sambil mengunyah. Suara kunyahan berbunyi kencang sekali. Suara itu merambat lewat udara, masuk ke pendengaran setiap orang, sehingga beberapa menengok ke arahmu. Aku tidak malu dilihat mereka sedang duduk bersamamu. Yang penting, kau ada di dekatku.

Aku mengambil sapu tangan kecil dari sakuku.

"Coba lihat sini," kataku. 

Kau menoleh sejenak. Aku menyentuh pelan dagumu. Aku hapus sedikit noda daun bawang yang tertempel di pinggir bibirmu. 

"Kebiasaan," kataku lagi sambil tersenyum. Ada sedikit bagian dari lipstikmu yang berlepotan. Kau lekas-lekas mengambil cermin kecil dari dalam tas.

Masih tersimpan banyak pertanyaan di benakku tentang dirimu. Masih berjuta rasa ingin tahuku terkait bagaimana kabarmu selama ini. Masih kulihat kau belum bisa melupakanku lewat memori-memori yang tersimpan dalam sinar matamu. Rahasia tentang Mirna, aku paham kau pasti tahu benar. Sebelum kita berpisah, kau tetap menyimpannya.

Sekarang, sesungguhnya aku tidak memintamu bercerita banyak. Kehadiranmu lebih dari semuanya. Kau pun belum memberi tahu, mengapa akhirnya memutuskan datang. 

Tetapi, kurasa siang ini adalah siang terindah dari siang-siang sebelumnya, yang selalu kulalui dengan penantian dalam kesendirian.

...

Jakarta

25 Agustus 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun