"Kamu lapar ya?"
Kau tersenyum kecil. Lagi-lagi kau masih malu, tetapi dengan tegas menunjukkan isyarat.Â
Apa setiap wanita memang harus ditebak? Apa memang mereka berharap kekasihnya harus gampang peka? Untung, sebagian besar isyarat tanganmu sudah sangat kuhafal.
Belum ada pembicaraan berarti siang ini, tetapi kehadiranmu sudah sangat berarti bagiku. Aku sangat ingin waktu berhenti, tanpa berlalu sedetik pun.Â
Kita duduk berdua merasakan kehangatan cinta di sini. Aku suka menghirup betapa wangi parfum cokelatmu yang selalu berhasil membangkitkan kenangan manis masa lalu. Kendati kau pernah bersamanya, kau tidak melupakan parfum yang pernah kuhadiahkan saat hari ulang tahunmu. Masih kau pakai terus, sampai sekarang duduk di dekatku.Â
Aku tahu, tanpa kau bicara, kau masih menaruh hati padaku. Semua usahamu datang ke sini kemungkinan besar karena itu. Aku rela kau tidak menjelaskan, yang penting kau tidak pergi lagi dariku.Â
Terdengar suara langkah kaki. Abang tukang bakso berjalan di atas batu-batu.
"Ini ya," katanya sambil menaruh dua mangkuk bakso di atas meja di depan bangku kita. Kau langsung mengambil sendok garpu dan menyantapnya. Kau sedang lapar ya? Aku tersenyum melihatmu makan.
"Air, Bang, airnya?" seru seorang penjual air yang sedang lewat. Ia membawa beberapa botol plastik air mineral dalam kotak kecil di tangan.
"Boleh, Bang. Dua."
"Kamu mau yang dingin atau biasa?"