"Iya. Kenapa?"
Aku tersenyum. Kau membalas senyum. Kutatap wajahmu lekat-lekat. Entah kenapa jantungku mulai berdetak kencang. Kita saling menatap. Pipimu semakin merah.
"...."
Terdengar suara seseorang bergumam. Seperti ada banyak hal yang ingin sekali diceritakan, tetapi tercekat dalam tenggorokan. Matamu sudah banyak berbicara, kendati kau tidak bersuara. Ada kenangan-kenangan indah tentang kita yang masih tersimpan di sana, yang aku tahu, kau sulit menghapusnya.
Awan putih berderet-deret terarak bersama angin, berpindah lambat-lambat, menutupi sang surya dan membuat suasana jadi teduh. Pohon Beringin tidak henti mengayunkan ranting, seperti memberi pertanda ia sedang suka melihat kembali sepasang kekasih yang dahulu selalu menghabiskan waktu bersama di bawah naungannya.
"Ting.... ting...."
Terdengar suara mangkuk dipukul. Seorang lelaki paruh baya mengendarai sepeda dengan gerobak berisi beberapa bahan makanan lewat. Gerobak itu masih sama seperti dulu. Berwarna putih kecokelatan, dengan untaian kabel lampu yang terpasang di setiap sudutnya. Ia selalu berjualan di taman itu sampai malam.Â
"Denish."
Kau bersuara lagi. Kali ini telunjukmu terangkat. Aku mengerti.
"Bang, bakso dua porsi! Satu tanpa sambal, satu pedas sekali," kataku kepada lelaki itu. Ia turun dari sepeda, mengambil serbet dari bahu, lantas menyiapkan dua mangkuk bakso.
Aku tahu, kau paling tidak bisa menghirup aroma bakso. Kau selalu gagal menahan godaan betapa wangi kuah bakso yang disajikan panas-panas dengan potongan daun bawang dan taburan bawang goreng di atasnya. Hampir tidak pernah kau lewatkan sajian makan siang spesial itu di taman ini. Bagiku, sebetulnya rasanya biasa-biasa saja. Tetapi, entah kenapa kau bisa begitu lahap menikmatinya.Â