"Terserah," jawabmu.
Aku sebetulnya paling tidak suka dengan kata "terserah" yang terucap dari bibir perempuan. Tidak pernah ada kejelasan dan sangat rancu maknanya. Tidak pernah ada kebebasan lelaki memilih dalam kata itu. Yang kau ingin sebetulnya agar aku ingat apa kesukaanmu. Agar aku lebih memahamimu. Agar aku peka apa yang kau mau. Apa kau sedang mengujiku?
"Biasa, dua, Bang."
Penjual air itu mengeluarkan dua botol plastik dan menaruhnya di meja kita. Aku mengambil dua lembar uang lima ribu dari dalam dompet.
"Terima kasih, Bang." Aku memberikan uang itu.
Kau masih saja lahap makan. Aku belum menyentuh baksoku, baksomu tinggal setengah. Kau sebetulnya sedang lapar atau memang doyan? Selalu saja, setiap ada hidangan bakso, kau paling gagal menahan diri. Tetapi, aku suka, melihatmu kembali makan di sisiku. Entah, aku sampai lupa kapan terakhir kali kita makan berdua. Saking terlalu lama.
"Kamu tidak makan?" tanyamu sambil mengunyah. Suara kunyahan berbunyi kencang sekali. Suara itu merambat lewat udara, masuk ke pendengaran setiap orang, sehingga beberapa menengok ke arahmu. Aku tidak malu dilihat mereka sedang duduk bersamamu. Yang penting, kau ada di dekatku.
Aku mengambil sapu tangan kecil dari sakuku.
"Coba lihat sini," kataku.Â
Kau menoleh sejenak. Aku menyentuh pelan dagumu. Aku hapus sedikit noda daun bawang yang tertempel di pinggir bibirmu.Â
"Kebiasaan," kataku lagi sambil tersenyum. Ada sedikit bagian dari lipstikmu yang berlepotan. Kau lekas-lekas mengambil cermin kecil dari dalam tas.