Saya baru selesai menghitung isi satu kotak. Rencananya, kami hanya menyediakan satu kotak bagi para pelayat yang hendak memberi uang duka. Tetapi, karena kebaikan dan budi pekerti ayah sudah sampai dan dikenal di mana-mana, teman-temannya yang dari luar kota pun datang hingga tidak terhitung jumlahnya. Saya mendadak harus menyediakan satu kotak lagi.
Matahari sudah menuju tempat peraduan. Senja hampir usai, malam sebentar lagi datang. Burung-burung beterbangan kembali ke sangkar. Ayam-ayam peliharaan ayah tenang bertengger di atas sebatang bambu kecil yang terpasang dalam kandang. Hujan tiba-tiba turun tipis.
"Cepat! Saya mau pulang!" gerutu kakak. Saya mempercepat hitung uang. Sudah tahu minta cepat, mengapa tidak bantu? Istrinya pun hanya ongkang-ongkang di kursi malas. Ruang tengah rumah kami berubah jadi tempat perbudakan.
Entah dari mana, soal uang, mereka berdua selalu semangat. Bukannya berpikir memberi, malah terus memoroti. Apa yang rumah dan ayah ibu bisa berikan, terus saja mereka minta. Seperti sapi yang diperah susunya.
"Semuanya lima juta tiga ratus ribu, Kak, Bang."
Abang berdiri dari kursi.
"Hmm... Banyak juga!"
"Saya empat juta, kamu delapan ratus ribu, dan kamu lima ratus!" perintah abang sambil menunjuk kakak dan saya. Kakak berdiri mendekati.
"Enak saja! Mengapa kamu lebih banyak? Saya lebih banyak keluar uang untuk pemakaman Bapak. Saya seharusnya dapat lebih!" Kakak berkacak pinggang. Matanya melotot seperti hendak keluar. Ada tatapan kemarahan yang menyala tajam.
"Tapi, saya anak pertama. Kamu kan kedua. Jadi, sudah wajar, saya dapat lebih banyak!"
Ibu masih bergeming dalam kamar. Perhatian saya terbelah. Apa ibu baik-baik saja di sana? Apa ibu masih sedih kehilangan ayah? Saya berharap ibu tidak keluar. Jangan sampai dukanya bertambah parah melihat kelakuan orang-orang matre ini.