"Tapi jangan lupa, abang sudah dapat lebih banyak. Abang terus dibiayai sampai sekolah tinggi. Sedangkan saya, harus bekerja untuk membayar uang sekolah SMA sendiri. Saya lebih pantas dapat banyak!"
"Kok kamu ungkit-ungkit masa lalu?"
Saya terdiam. Kendati ini bukan perdebatan pertama yang saya saksikan, saya begitu menyesalkan mengapa harus terjadi sekarang. Waktu bau tanah makam ayah masih harum. Waktu bunga-bunga Melati masih segar bertebaran di sekitarnya. Waktu ibu belum bisa beranjak dari kesedihan. Kurang ajar memang dua orang ini. Uang dari kotak kematian pun disikat.Â
Apakah mereka tidak berpikir, itu lebih pantas untuk ibu? Untuk menghibur meskipun sangat sedikit, kepiluannya? Bukankah mereka sudah bekerja dan mendapat penghidupan layak? Mengapa hanya untuk uang sedikit ini, masih saja mata mereka serakah? Apa memang uang selalu tidak pernah hilang pesonanya untuk menciptakan perselisihan?
Saya pribadi tidak terlalu mempermasalahkan hendak dapat berapa. Tidak dapat pun tidak apa. Saya sudah belajar dari ayah. Bagaimana saya harus lebih sering berbagi daripada memperoleh. Bahkan, saat kekurangan sekalipun, ayah tetap menunjukkan sifat berbaginya.
Malam ini harusnya tenang. Semua harusnya sedih. Ada kenangan mendalam yang sedang hilang. Ada seseorang hebat yang pernah jadi teladan dan hadir di dunia. Tetapi, orang-orang keparat ini meributkan hal tidak penting. Saya masih berharap ibu tidak keluar kamar.
Ibu kerap tidak kuat melihat perkelahian anaknya. Beberapa kali ia jatuh pingsan. Beberapa kali pula saya harus membawanya ke rumah sakit karena sakit jantung yang tiba-tiba kambuh.
"Jadi, kamu mau hitung-hitungan?" Abang mendongakkan kepala. Urat di wajahnya tertarik ke atas. Suaranya agak meninggi. Saya menunduk. Semoga saja tidak ada perkelahian.
"Bukan begitu, Bang. Kita harus adil membagi semua ini! Berapa yang sudah kita dapat dari ayah? Berapa pula yang belum dan seharusnya kita peroleh? Kita hitung itu semua, supaya adil!" jawab kakak.
Astaga, seru saya dalam hati. Mereka hitung-hitungan tentang kebaikan ayah. Mereka hitung-hitungan terkait jerih payah ayah membesarkan mereka. Semoga arwah ayah tidak mendengar. Semoga ia tenang di sana. Meskipun mungkin masih berkeliling di sekitar, semoga tetap tenang.Â
Ibu, janganlah engkau keluar dari kamar.