Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Si Penjual Waktu

7 April 2021   02:28 Diperbarui: 8 April 2021   22:09 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Penjual waktu, Bu. Penjual waktu," kata tetangga saya. Sepertinya dia mendengar gumam saya. Kepala saya makin pusing. Akhirnya, saya coba membuktikan sendiri kesaksian mereka. 

Kebetulan anak saya sedang sakit dan besok ada ulangan Matematika. Sayang, bila anak saya tidak bisa ikut. Mengikuti ulangan susulan adalah hal yang dibencinya, karena berpikir seorang diri tanpa teman dan diawasi guru begitu menekan mentalnya.

Saya pergi ke pasar itu. Beberapa orang masih berdesak-desakan. Salah seorang menjorokkan badan orang lain. Ada yang terjatuh mencium aspal. Siang itu begitu terik. Sinar matahari yang panas membara, tidak menyurutkan semangat mereka. Sepertinya, mereka punya banyak masalah. Beberapa perkataan mengandung umpatan.

"Minggir, goblok! Saya sudah datang duluan."

"Kamu yang antre, goblok! Saya dari tadi."

"Heh... heh... heh.... mundur kalian. Sekarang giliran saya."

Daripada saya hancur seperti rempeyek dalam desakan mereka, lagipula keringat mereka begitu apek, saya memilih duduk di depan sebuah toko. Saya tunggu saja kerumunan itu berkurang. Saya sama sekali tidak bisa melihat si penjual itu. Seperti sebutir gula dirubung ratusan semut.

Senja mulai datang. Saya lihat sudah sepi. Saya mendekati penjual itu.

"Sore, Pak. Masih ada jualannya?"

Bapak penjual itu tidak menjawab. Ia mengambil sebotol air mineral besar, lalu meneguknya cepat, seperti kehausan. Ya, memang wajar, dia begitu lelah. Keringat berleleran di bajunya. Handuk di pundaknya basah kuyup. Topinya lembap.

"Ada, Bu. Tapi, tinggal satu hari. Ibu mau?" katanya menawarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun