"Lalu apa, Bu?" Rasa penasaran saya bertambah. Saya ingin mencari masuk akalnya di mana.
"Lalu, sebagai bayarannya, pembeli harus janji. Ia harus menyediakan waktu yang lamanya sama dengan yang dibelinya, untuk menolong orang. Bila tidak, maka kesialan akan datang."
"Jadi, penjual itu tidak dapat uang maksudnya?"
"Seperti itu, Bu."
Saya betul-betul tidak habis pikir. Bagaimana bisa terhubung penjual itu dengan tukang tagih itu? Apa mereka kebetulan saudara? Waktu seperti apa yang dia jual?Â
Kali ini, seorang tetangga lain datang ke rumah saya. Sama seperti tetangga saya itu, raut wajahnya benar-benar berseri, seusai membeli waktu.
"Bu, kalau ada masalah, ke penjual itu saja, Bu," katanya pada saya. Saya membuka pagar. Saya keluar dari rumah.
"Ibu habis beli waktu berapa lama? Untuk apa memang?"
Ibu itu merapikan dasternya. Ia mengelap kotoran dan debu, seusai berdesakan dengan para pembeli waktu.Â
"Saya dapat dua hari, Bu. Lumayan, saya masih bisa menghabiskan waktu dengan ibu saya. Kata suami saya yang di rumah sakit, ibu saya tidak jadi meninggal. Padahal, baru beberapa detik sebelum saya beli waktu, napasnya tersengal-sengal parah. Wajahnya betul-betul pucat. Tangannya dingin. Saya bersyukur, masih bisa punya waktu dua hari untuk berbincang dengan ibu," katanya perlahan sambil menitikkan air mata.
Apa penjual itu tukang sihir? Bagaimana bisa setelah kemarin menunda kedatangan tukang tagih utang, sekarang menunda kematian orang? Siapa dia sebenarnya?