Hari itu sepulang bekerja, saya terkejut menonton berita di televisi di warung nasi langganan. Seorang bapak berumur setengah abad, salah satu pejabat teras di kota saya, tertangkap tangan menyalahgunakan uang warga yang seharusnya dipakai untuk pembangunan. Tidak tanggung-tanggung, nilainya saya taksir beratus-ratus kali lipat dari harga rumah mewahnya yang tiba-tiba terlintas begitu saja di kepala saya.
Saya tahu siapa orang itu. Lelaki berkulit hitam berambut gondrong kusut dan tebal yang sangat bawel bercerita tentang istrinya yang sukses menjadi pengusaha tambang di pulau seberang, anaknya berhasil bergelar doktor di usia muda, sampai-sampai berpuluh-puluh rumah mewahnya ikut dibangga-banggakan dengan pembantu bahenol yang kerap dia paksa untuk melampiaskan hasrat tanpa sepengetahuan istrinya. Ceritanya yang membesar-besarkan kepala itu lebih lama daripada waktu yang saya perlukan memotong rambutnya. Telinga saya hampir panas.
Ah, seandainya. Seandainya saat itu, ketika saya masih beruntung bisa memegang rambutnya. Ketika jari-jari saya tertempel lekat di kulit kepalanya, sembari dia berucap terus-terusan bahwa saya harus cerdik dan pandai mengatur situasi, kondisi, dan jaringan supaya bisa bertahan menghadapi kerasnya dunia.
Ingin rasanya saya mengganti gunting kecil saya dengan ukuran terbesar. Perlahan ketika matanya terkantuk-kantuk, saya pegang kencang-kencang kepalanya, saya potong seluruh helainya, saya jambak keras-keras sisa-sisa rambutnya, dan tidak lupa saya jedotkan kepala itu berulang kali ke batang pohon.
Sungguh perusak peradaban!
...
Jakarta
28 Januari 2021
Sang Babu RakyatÂ