Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Meja Penghakiman

25 Januari 2021   23:38 Diperbarui: 26 Januari 2021   00:21 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:news.klikpositif.com

"Mengapa Saudara sedari tadi terus melawan pendapat saya? Apakah Saudara ingin menjadi pahlawan, dengan meringan-ringankan beban hukuman yang pantas diderita para penjahat atas dasar kemanusiaan? Bukankah kejahatan harus dibalas kejahatan? Seperti mereka tidak berpikir sebelum berbuat jahat, seperti itulah kita harus merumuskan kegilaan atas hukumannya. Itu namanya setimpal"

Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Siapa yang membunuh wajib dihabisi nyawanya, siapa yang mencuri harus dipotong tangannya. Prinsip itu selalu ditentang oleh seorang lelaki di depan kedua rekannya.

Mereka bukan orang biasa, melainkan sosok terpandang yang diberi kepercayaan oleh banyak orang untuk merumuskan hukum atas tindak kejahatan di negeri yang baru saja merdeka sepuluh hari lalu dari tangan penjajah dengan jumlah penduduk tinggal sepuluh ribu orang.

Lelaki itu bersama lelaki yang lebih tua dan seorang wanita cantik paruh baya sudah duduk lebih dari dua hari, mengelilingi meja bundar bertaplak putih dalam sebuah gedung tua yang satu-satunya tertinggal cukup megah dan terhitung layak untuk dijadikan istana.

Mereka adalah pemimpin pergerakan dari tiga arah wilayah negeri prematur itu. Rekan mereka, dari sisi selatan, tidak sanggup mempertahankan sisa napas, ketika peluru senapan penjajah tepat bersarang di jantungnya.

Sebagai bentuk perlawanan total atas rezim penjajah, mereka bersepakat memutuskan untuk tidak mengadopsi hukum yang bertahun-tahun telah penjajah terapkan di wilayah mereka. Khusus malam itu, tinggal dua tindak kejahatan yang belum terputus hukumannya.

"Apakah Saudara tega membunuh pembunuh? Tidak adakah sedikit belas kasihan di hati Saudara? Kita kan tahu, negeri ini tidak banyak penduduknya. Lagipula, kebiasaan membunuh penjajah mungkin masih terbawa sampai sekarang. Bila itu diterapkan, bisalah Saudara bayangkan, penduduk kita yang sudah sedikit akan semakin sedikit saja."

Lelaki itu kembali lagi melawan dengan dasar kemanusiaan. Rapat yang kian memanas dan telah berlangsung dari pagi hingga dini hari itu belum menemukan titik temu atas perbedaan pendapat keduanya.

Beberapa kali lelaki itu, pemimpin pergerakan utara, mencoba meluluhlantahkan kerasnya hati lelaki lebih tua di depannya, pemimpin pergerakan barat. Sang wanita hanya terdiam dan sesekali dahinya berkerut-kerut. Rambut panjangnya dia belai terus-terusan, seperti hendak mengalihkan perhatian dan mendinginkan otak dari panasnya perdebatan.

"Dan bukannya Saudara tahu, pembunuhan adalah tindakan keji. Dengan alasan apapun, tidak pernah dibenarkan perbuatan menghilangkan nyawa orang itu. Nyawa adalah pemberian Yang Kuasa, dan Yang Kuasa yang pantas mengambilnya. Bukan kita!"

"Dari tadi Saudara ada saja dalih meringankan. Apa maksud Saudara di balik semua itu? Saudara ingin melindungi siapa? Kita harus menakuti penduduk supaya mereka tidak membunuh. Dan hukuman dibunuh adalah paling menakutkan"

Tangan pemimpin pergerakan barat tiba-tiba menggebrak meja. Kopi dan teh yang terhidang sudah dingin karena terlalu lama tidak diminum meluber tumpah membasahi taplak. Pemimpin pergerakan timur angkat suara.

"Sudahlah, mau sampai kapan rapat kita ini? Saya sudah bosan mendengar kalian terus bersitegang. Memangnya tidak ada lagi yang lebih penting yang perlu dipikirkan. Kita belum memutuskan ideologi negeri ini seperti apa. Itu yang paling penting!"

"Jadi menurut Saudara, apa hukuman yang pantas?"

"Saya sependapat dengan hukuman dibunuh. Pembunuh harus dihabisi nyawanya. Itu wajib pula diumumkan berulang-ulang kepada rakyat kita, agar mereka takut, dan tidak ada lagi pembunuhan. Kita juga harus menyisir setiap rumah mereka, supaya tidak ada lagi senjata api dan senjata tajam bekas pergerakan yang masih tersimpan. Perlu juga dibuat hukuman untuk yang kedapatan masih memilikinya." 

Kalimat itu terlontar dari bibir sang wanita. Awalnya, dia sempat mengajukan pendapat hukuman seumur hidup. Tetapi, karena hanya bertiga, dan bila berpendapat lain itu hanya memperpanjang waktu perdebatan, maka akhirnya dia memilih menyetujui pendapat pemimpin pergerakan barat yang diam-diam, tiada yang tahu, adalah kakak kandungnya.

Lelaki dari utara itu mendadak bisu. Mulutnya terbungkam. Wajahnya lesu. Keringatnya bertambah banyak. Karena kalah suara, dua banding satu, dia tidak bisa apa-apa.

"Bagaimana dengan kejahatan seksual? Tidak bisakah kita memberi ampun dengan tidak menerapkan hukuman yang Saudara usulkan? Itu terlalu kejam!"

Lelaki itu kembali berjuang. Sekali lagi, atas dasar kemanusiaan. Menurutnya, pelaku tindak kejahatan seksual cukup direhabilitasi saja, tanpa perlu dihukum berlebihan. Mereka hanyalah manusia biasa yang sesekali pernah silap dan tidak mampu mengendalikan nafsu seksualnya.

Dengan pandangan tajam, pemimpin pergerakan barat menatap lelaki itu. Tangannya mengepal keras, seakan hendak memecahkan kaca meja.  

"Saudara bisa berkata begitu karena Saudara mungkin tidak punya kerabat yang telah dinodai kehormatannya. Bagaimana rasanya wanita kehilangan kesucian, satu-satunya harta berharga dalam hidupnya, Saudara tidak pernah tahu. Apakah ada hukuman yang lebih pantas selain mengebiri penjahat bejat itu?"

Lelaki dari barat itu berkata dengan amarah tertahan. Dia tiba-tiba teringat akan anak perempuannya yang dicabuli dua tahun lalu. Bagaimana anak semata wayangnya itu terdiam berbulan-bulan, tidak mau makan, bersedih dan terus murung di dalam kamar, bahkan suatu ketika pernah dia pergoki hampir bunuh diri.

"Kehilangan harus diganti dengan kehilangan. Biar semua orang berpikir dan menghormati derajat wanita." Ingin rasanya dia membalas penjahat itu yang sampai sekarang belum ditemukan dan tidak mampu dia lakukan, dengan ketetapan hukuman itu. Biar tahu rasa.

"Tetapi, bila dikebiri, kasihan kehidupan seksualnya. Dia tidak bisa menjadi lelaki sesungguhnya." Lelaki dari utara terus menawar.

Sang wanita yang mulai kelelahan dengan ocehan dua lelaki di depannya kembali bicara.

"Benar itu katanya. Kehilangan pantas dibalas dengan kehilangan. Biar pikiran dan mata lelaki jalang hancur berkeping-keping. Mereka para penjahat seksual tidak layak berahi lagi."

Lelaki dari utara mengambil napas panjang. Dielus-elus dadanya, seakan memberi kesabaran akan kekalahan perdebatan. Dari awal memang mereka sepakat, suara terbanyak adalah pemenang. Sejak saat kesepakatan diputuskan, hukuman itu mulai diberlakukan.

Karena tidak bisa berkata-kata lagi dan perkara telah usai diputuskan, mereka bertiga kembali ke kediaman masing-masing. Keesokan harinya, pemimpin pergerakan utara itu ditemukan sakit keras dan dirawat di rumah sakit.

Dia terserang strok. Otaknya terganggu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Bagaimana dia harus berhadapan dengan anak dan pamannya yang lusa hendak kembali ke negerinya. 

Dia tidak bisa membayangkan penderitaan anak lelakinya yang akan kehilangan jati diri seutuhnya. Kesedihan dan duka mendalam pun akan berbayang menggelayuti hidupnya oleh sebab pamannya tidak akan dilihatnya lagi. 

Dia tahu, anak lelakinya diam-diam meninggalkan negeri itu karena telah mencabuli seorang wanita. Dia diam-diam tahu pula, siapa orangtua dari wanita yang telah dicabuli anaknya. Orang yang bersitegang dengannya dini hari kemarin.

Sementara pamannya melarikan diri ke daerah lain karena telah mencemarkan nama baik keluarga. Dia menghabisi nyawa ibunya untuk warisan yang telah mereka bagi dua.

...

Jakarta

25 Januari 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun