Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Meja Penghakiman

25 Januari 2021   23:38 Diperbarui: 26 Januari 2021   00:21 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:news.klikpositif.com

Tangan pemimpin pergerakan barat tiba-tiba menggebrak meja. Kopi dan teh yang terhidang sudah dingin karena terlalu lama tidak diminum meluber tumpah membasahi taplak. Pemimpin pergerakan timur angkat suara.

"Sudahlah, mau sampai kapan rapat kita ini? Saya sudah bosan mendengar kalian terus bersitegang. Memangnya tidak ada lagi yang lebih penting yang perlu dipikirkan. Kita belum memutuskan ideologi negeri ini seperti apa. Itu yang paling penting!"

"Jadi menurut Saudara, apa hukuman yang pantas?"

"Saya sependapat dengan hukuman dibunuh. Pembunuh harus dihabisi nyawanya. Itu wajib pula diumumkan berulang-ulang kepada rakyat kita, agar mereka takut, dan tidak ada lagi pembunuhan. Kita juga harus menyisir setiap rumah mereka, supaya tidak ada lagi senjata api dan senjata tajam bekas pergerakan yang masih tersimpan. Perlu juga dibuat hukuman untuk yang kedapatan masih memilikinya." 

Kalimat itu terlontar dari bibir sang wanita. Awalnya, dia sempat mengajukan pendapat hukuman seumur hidup. Tetapi, karena hanya bertiga, dan bila berpendapat lain itu hanya memperpanjang waktu perdebatan, maka akhirnya dia memilih menyetujui pendapat pemimpin pergerakan barat yang diam-diam, tiada yang tahu, adalah kakak kandungnya.

Lelaki dari utara itu mendadak bisu. Mulutnya terbungkam. Wajahnya lesu. Keringatnya bertambah banyak. Karena kalah suara, dua banding satu, dia tidak bisa apa-apa.

"Bagaimana dengan kejahatan seksual? Tidak bisakah kita memberi ampun dengan tidak menerapkan hukuman yang Saudara usulkan? Itu terlalu kejam!"

Lelaki itu kembali berjuang. Sekali lagi, atas dasar kemanusiaan. Menurutnya, pelaku tindak kejahatan seksual cukup direhabilitasi saja, tanpa perlu dihukum berlebihan. Mereka hanyalah manusia biasa yang sesekali pernah silap dan tidak mampu mengendalikan nafsu seksualnya.

Dengan pandangan tajam, pemimpin pergerakan barat menatap lelaki itu. Tangannya mengepal keras, seakan hendak memecahkan kaca meja.  

"Saudara bisa berkata begitu karena Saudara mungkin tidak punya kerabat yang telah dinodai kehormatannya. Bagaimana rasanya wanita kehilangan kesucian, satu-satunya harta berharga dalam hidupnya, Saudara tidak pernah tahu. Apakah ada hukuman yang lebih pantas selain mengebiri penjahat bejat itu?"

Lelaki dari barat itu berkata dengan amarah tertahan. Dia tiba-tiba teringat akan anak perempuannya yang dicabuli dua tahun lalu. Bagaimana anak semata wayangnya itu terdiam berbulan-bulan, tidak mau makan, bersedih dan terus murung di dalam kamar, bahkan suatu ketika pernah dia pergoki hampir bunuh diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun