Tulisan ini merupakan kelanjutan cerita dari tulisan Ketika Komentar Lebih Penting daripada Konten. Masih seputar menyoroti fenomena yang sedang merebak akhir-akhir ini.
Dalam tulisan tersebut, telah dikupas penyebab sebuah konten menjadi viral, salah satunya karena like. Memang hanya sebuah tombol, tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar. Khususnya bagi konten kreator, si pembuat konten.
Ketika dilihat dari sisi penikmat konten, penulis yakin, banyak juga yang memencet tombol ini tidak karena suka dengan kontennya, tetapi hanya sekedar karena pertemanan, atau dimintakan bantuan untuk menenarkan konten. Ya, hitung-hitung bantu orang, "begitu pikir mereka. Kemungkinan besar bahkan mereka tidak tahu apa isi kontennya. Boro-boro suka, buka kontennya aja kagak. Tombol like pun sudah mulai bergeser artinya.
Bagi konten kreator, tombol like menjadi pusat perhatian. Dari hari semenjak konten tersiar ke publik, beralih kepada hari-hari berikutnya, pertambahan akan jumlah like pasti tidak pernah lepas dari pantauan. Selalu dipentelengi, dan bergumam dalam hati,"laku kagak nih karya gw?".Â
Mengapa mereka seperti "tergila-gila" dengan tombol like? Hal ini karena viral yang disebabkan like, bisa mendatangkan banyak manfaat, dari ketenaran, mempunyai banyak teman, dan terutama memperkaya pundi-pundi bagi mereka.Â
Di saat inilah, hormon dopamin yang dipicu dari pertambahan massal tombol like mulai diproduksi oleh tubuh. Hormon dopamin, salah satu hormon kebahagiaan, yang membuat kita senang dan bahagia dalam menjalani kehidupan.Â
Iya, siapa sih yang tidak bahagia menjadi orang tenar dan kaya? Sepertinya nihil. Penulis pun tidak munafik. Dan karena manfaat inilah, maka banyak yang suka dengan banyaknya like, bahkan sampai kecanduan. Kecanduan dopamin.
Fenomena pun Terjadi
Mirisnya, alih-alih mengembangkan kreatifitas dalam konten, perjuangan dalam mencari like ini menjadi lebih dipentingkan. "Yang penting viral," mungkin pikir mereka. Mulailah terjadi pergeseran, dari konten yang ada manfaatnya, menjadi kurang bermanfaat, bahkan tidak bermanfaat.Â
Intinya, yang penting menghibur, sehingga banyak tombol like berdatangan. Kalau memang sedari awal kontennya lawak sih tidak apa-apa, memang tujuannya membuat orang tertawa. Bahkan, yang cukup parah sekarang, banyak konten prank atau menjahili orang, bertebaran di mana-mana.Â
Entah, logika apa yang bisa diambil sehingga seorang bisa memberikan like untuk konten semacam ini. Bukankah menjahili orang adalah perbuatan yang tidak terpuji? Itu sudah merugikan. Barusan pula, kita dengar ada yang masuk bui gegara konten tipe ini. Memang, ini tidak mendidik, kawan.
Atau jangan-jangan, dengan semaraknya konten seperti itu, memang kita sedang diarahkan untuk terlatih menertawakan derita orang? Sudah ah, jangan dibahas lebih lanjut, ini tulisan bukan tentang konspirasi, hehe.
Sebaiknya...
Ke depan, konten kreator seyogianya lebih berpikir tentang sejauh mana konten tersebut bisa berdampak, tidak hanya sekedar memuaskan kecanduan dopamin dari tombol like.Â
Terutama bagi mereka, para konten kreator yang punya banyak pengikut, dari anak kecil, generasi milenial, sampai khalayak umum. Tentunya kita tidak berharap konten tersebut memberikan dampak negatif bagi masa depan mereka.
Akhirnya, adalah tidak salah bila kita berburu like. Yang salah adalah ketika kualitas konten menurun, tetapi like tetap atau bahkan semakin bertambah banyak.Â
Bukan candu dopamin dari tombol like yang lebih utama, tetapi dopamin karena telah bermanfaat bagi sesama, melalui konten yang berkualitas, itu yang terutama.
Tetap semangat meningkatkan kualitas konten, wahai para konten kreator. Bagi para penulis, sadarkah bahwa kita juga termasuk konten kreator lho? Konten kita berupa tulisan. Jadi, tetaplah kita terus menelurkan tulisan-tulisan yang bermanfaat.Â
Jangan sampai berhenti berkarya, hanya gara-gara tidak ada yang like.
Jakarta,
4 Juli 2020
Sang Babu Rakyat