Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Spiritual Bonding: Behind the Story

28 Oktober 2020   14:55 Diperbarui: 28 Oktober 2020   15:02 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku Asytar Kayvan, biasa dipanggil kay. Umurku 26 tahun, seorang pria yang hidup tanpa pendamingan orangtua. Mamaku meninggal dunia ketika melahirkan Altair Kayvan, adikku yang sekarang berusia 24 tahun. Seorang adik laki-laki yang Aku pikir bisa membantu bebanku dalam mencari penghidupan. Sedang papaku? Kemana dia? Papaku langsung menikah lagi ketika usia kematian mama baru genap 2 bulan. Sejak saat itu hingga hari ini, Aku dan Altair tidak pernah bertemu lagi dengannya. Sebelumnya kami hidup bersama bibi (tetangga) yang hidup sebatang kara. Namun bibi meninggalkan kami ketika usiaku menginjak 14 tahun.

Menyedihkan memang. Tapi ini merupakan fakta pahit yang harus Aku terima, kemudian berusaha bertahan hidup semampunya. Aku tak banyak memiliki waktu untuk bermain dengan teman-teman, bahkan waktu untuk beribadah pun, tak sempat. Aku harus sibuk mencari uang, untuk membiayai pendidikanku yang saat itu masih kelas 3 SMP, dan juga untuk biaya pendidikan Altair yang baru memasuki tingkat SMP. Jika dikata berat, memang berat. Masa kanak-kanak yang seharusnnya Aku dapat, tidak bisa Aku rasakan. Menyedihkan, kurang beruntung. Dua kata itu seriang Aku dengar dari mulut teman-temanku. Namun Aku bisa apa? Aku tidak mungkin melayangkan protes kepada Tuhan atas nasibku kini.

Aku hidup bagaikan bintang, yang harus dapat memberikan cahaya bagi adikku. Karena memang namaku artinya bintang (Asytar), yang harus berpijar di semesta (Kayvan) yang gelap. Altair merupakan salah satu bintang yang paling terang, berada pada rasi bintang Aquila. Ya, Aku harap sinar Altair tetap terang benderang di alam semesta, untuk memberikan semangat kepadaku yang harus berjuang di usia muda.

Aku bekerja di salah satu warung makan kaki lima milik Bu Dari, seorang wanita baik hati yang iba kepadaku semenjak kematian Bibi. Aku bekerja sebagai pelayan dan tukang cucui piring, yang dibayar 30 ribu rupiah setiap harinya. Tidak ada hari libur, warung Bu Dari buka setiap hari. Paling sesekali saja libur, ketika Bu Dari jatuh sakit. Bagiku, upah 30 ribu sudah bagus, ditambah Bu Dari selalu memberiku makan, dan ketika Aku pulang pun selalu dibungkuskan makan untuk kebutuhan Altair. Namun Aku beruntung, setidaknya masih ada rumah peninggalan bibi yang bisa Aku tempati. Sebuah rumah sederhana yang lantainya terbuat dari semen, dindingnya terbuat dari papan-papan kayu, dan hanya tersedia satu kamar tidur.

Ukuran kamar tidurku tidak besar, 3x3 meter dengan satu lemari pakaian yang sudah tua. Tidak ada plafon, sehingga ketika hujan datang, rintikan air itu mengenai kasur di beberapa sisi. Aku pun tak punya televisi, bahkan radio pun tidak. Satu-satunya hiburan yang Aku miliki selepas lelah bekerja adalah Altair.

Tiap harinya Aku berangkat kerja pukul 2 siang, selepas pulang sekolah. Aku pulang ke rumah pukul 10 malam, karena warung Bu Dari hanya beroperasi sampai pukul 9:30 malam.

Selepas Kepergian Bibi

"[mengetuk pintu] Ta, Alta. Kakak pulang." Tak lama Altair membukakan pintu, diiringi senyuman bahagia yang setiap harinya diberikan kepadaku. "Kamu belum tidur?" tanyaku semmbari melangkahkan kaki ke ruang tengah. "[meletakkan makanan di meja] Makan gih, abis itu langsung tidur." Suruhku. Altair memakan makanan yang Aku bawakan dengan lahap, karena memang sedari siang dia belum makan, hanya bisa membeli jajanan kantin untuk mengganjal perutnya yang mulai keroncongan. Sementara Aku langsung membersihkan badanku yang sudah bau keringat karena bekerja seharian. Kamar mandi ini pun sangat sederhana. Tidak ada bak mandi, hanya tersedia ember berukuran lumayan besar dan sebuah sumur tua. Altair selalu menyiapkan air untuk Aku mandi, hal sederhana seperti inilah yang mampu mensugestiku untuk selalu semangat dalam bekerja. Setelah selesai mandi, Aku bergegas ke ruang tengah, duduk di sebelah Altair yang hampir menghabiskan makanannya.

Salah satu hal yang Aku sukai adalah, ketika melihat adikku makan dengan lahap, menikmati nasi yang lauknya sederhana namun terasa sangat nikmat ketika disantap dalam keadaan yang lapar. Wajah Altair begitu manis, wajahnya bersih dengan warna kulit sawo matang. Wajahnya yang oval menambah kesan manis dengan mata yang indah. Bibirnya yang merah muda semakin menyempurnakan dirinya. Rambut lurusnya selalu Aku usap, bahkan seperti sekarang, ketika ia sedang lahap menyantap makanannya. Kemudian Aku lekas masuk ke dalam kamar tidur, merebahkan badanku yang sudah lelah di atas kasur yang terbuat dari kumpulan kapas. Kamar kecil yang selalu terlihat rapih karena dirawat oleh Altair. Tidak adanya kipas angin membuatku terpaksa tidur dengan bertelanjang dada, menggunakan kolor yang sudah bolong-bolong di beberapa bagian. Aku tidak tahan jika harus menggunakan baju ketika tidur, hawa panas rumah ini tak mampu membuatku tidur dengan nyenyak.

Tak lama kemudian, Altair yang sudah selesai makan menghampiriku, merebahkan badannya di sebelahku, dengan tangan kanannya yang memeluk tubuhku. Altair selalu memelukku sebelum matanya terpejam, dan Aku juga memeluk tubuhnya dengan tangan kananku yang merangkul tubuh kecilnya. "If I ruled the world, every day would be the fist day of spring. Every heart would have a new song to sing. And we'd sing of the joy morning would bring. If I ruled the world, every man would be as free as a bird. Every voice would be a voice to be heard. Take my world, we would treasure each day that occured." Terkadang Aku menyanyikan lagu itu untuk membuatnya tertidur. Dan setelah dia tertidur, Aku mulai memejamkan mataku yang lelah agar bisa melanjutkan hidup esok hari.

Tak banyak waktu yang bisa Aku habiskan bersama Altair, tak banyak perhatian yang bisa Aku berikan kepadanya. Mungkin hanya dengan pelukan hangat sebelum tidur, story telling, dan juga waktu di pagi hari yang bisa Aku manfaatkan agar tetap dekat dengan Adikku. Beruntungnya Aku, Altair tidak banyak menuntut seperti kebanyakan anak seusianya. Dia lebih sering meminjam kepunyaan temannya daripada merengek meminta kepadaku. Walaupun begitu, tetap saja Aku merasa sedih karena tidak bisa memenuhi kebutuhannya.

Ketika adzan subuh berkumandang, Aku mulai bangun dari tidurku dan bergegas ke dapaur. Setiap harinya Aku menanak nasi, memasak lauk sederhana untuk kami sarapan. Terkadang, ketika ada uang lebih, Aku membuatkan bekal untuk Altair. Lauk yang Aku buat tidak mewah, hanya telur dadar, sup bayam, dan tempe goreng. Untuk bekal Altair, kadang Aku membuatkannya martabak mi yang isinya Aku isi sosis. Hanya lauk sederhana itu yang bisa Aku persembahkan untuk Altair, agar ia tidak tersiksa menahan lapar sepulang dari sekolah.

"[Membangunkan Altair, menepuk kedua pipinya] Alta, hey wake up. It's six now, hurry." Alta pun bangun dan berkata, "Morning my hero [menguap dan mengucek kedua matanya]". Yup, setiap pagi seperti itulah kegiatan kami, berusaha menciptakan memori indah di tengah segala keterbatasan. "[merapihkan tempat tidur] Seragammu ada di atas meja makan, sudah kakak setrika. Jangan lupa cek lagi isi tasmu." Kataku. "Huh, bro. Alright." Jawabnya.

Ketika kami sudah siap berseragam dan sarapan, Aku memanfaatkan waktu yang sebentar ini untuk memberikan perhatian kepada Altair. Aku bertanya kepada dia bagaimana sekolahnya kemarin, sudah mendapatkan teman baru atau belum, lalu Aku bertanya tentang kondisi lingkungan di sekolah barunya. "[Masih melanjutkan sarapan] Everything's fine. Alta cuman butuh waktu untuk beradaptasi. Lagian anak-anak sepertinya tidak ada yang ngehe' kok." Jawabnya. Aku pun merasa lebih nyaman setelah mendengar jawaban itu. Aku ingin Altair mendapatkan banyak teman, menikmati masa remaja seperti orang lain. "[Selesai makan, mengambil tas] Almost late. Kakak berangkat dulu ya, see You soon." Ucapku. "Take care ya." Jawab Altair yang sedang menyelesaikan sarapannya.

After School

Ah, tidak banyak yang bisa Aku lakukan di sekolah. Aku hanya bisa berdiam di kelas, bahkan ketika jam istirahat. Uangku menipis, sehingga Aku harus berhemat agar bisa tetap bertahan hidup. Seseorang tiba-tiba menghampiriku di kelas, ketika sedang jam istirahat. Namanya Ema, teman satu kelasku. "[Duduk di sebelahku, mengagetkanku yang sedang tidur dengan suara khasnya] Yuhuuuuu, my dear Kay." Ucap Ema. Aku yang kaget sontak langsung bangun dari tidur yang sebentar ini. Tiba-tiba Ema menyuapiku bakso goreng yang sudah dilumuri saos pedas. Ema melihatku kepedasan, langsung menyodorkan es teh yang dikemas dalam cup. Aku pun meminum es itu, dengan nyawa yang masih belum terkumpul.

Ema gadis yang baik, pintar pula. Rambutnya yang diikat seperti Sailormoon, membuatku selalu merasa gemas ketika melihat sosoknya. Terkadang Ema membelikanku makanan, terkadang sengaja membagi bekalnya kepadaku. Sebenarnya Aku malu untuk menerima kebaikannya, tapi, Aku tidak bisa berdamai dengan rasa lapar dan hausku yang akhirnya membuatku menerima kebaikannya. "Kamu pasti lapar kan? Nggak punya uang buat jajan ya? Ulu ulu kasian, unch." Ledek Ema. "Kok tau, Em?" jawabku. "[menyodorkan kaca kecil ke mukaku] Liat tuh, di jidadmu ada tulisan fakir miskin." Ledeknya lagi. Walaupun perkataannya ceplas-ceplos, tapi Aku tidak pernah sedikitpun merasa tersinggung. Justru Aku membutuhkan sosoknya sebagai penghibur pada kehidupanku yang sepi. "Berak sekebon", responku.

Setelah jam sekolah berakhir, Aku langsung menuju warung Bu Dari untuk bekerja. Bu Dari sangat ramah kepadaku, begitu pula dengan suaminya. Dan orang-orang yang membeli dagangannya pun, sudah mengenalku. Sesampainya di sana, Aku langsung melepaskan seragam sekolahku dan memakai kaos oblong berwarna biru tua dan juga kolor hitam. Aku langsung bergegas mencuci piring yang sudah menumpuk di tempat cucian piring. Bu Dari yang melihatku sedang mencuci piring, menegurku dari belakang. "Makan dulu Kay, biar ibu yang mencucinya. [Mendekatiku, memaksaku untuk makan terlebih dahulu] Sana makan dulu." Ucap Bu Dari. Aku pun mengiyakan permintaan pemilik warung dan langsung mengambil nasi beserta lauk untuk Aku makan. Bu Dari yang telah selesai mencuci piring, datang menghampiriku sembari membawakan segelas es teh dan bertanya, "Alta sudah kamu siapkan makanan di rumah?". "Tadi pagi sudah Kay kasih bekal untuk makan siang di sekolah Bu." Jawabku. "Ya sudah, ini rokokmu [meletakkan sebatang rokok filter di depanku, kemudian kembali ke dapur]", ucap beliau. "Makasih bu." Jawabku.

Ya, memang benar Aku masih kelas 3 SMP. Tapi lingkunganku saat ini berisikan orang-orang dewasa, akrablah Aku dengan yang namanya rokok. Kadang suami beliau (Pak Ilyas) memberikanku sebungkus rokok filter, kadang memberikan uang tambahan untukku. Mereka begitu baik, Aku merasa seperti mempunyai orangtua di sini. Sungguh sensasi yang selama ini tidak Aku dapat. Merasakan kehadiran orangtua walau bukan kandung, namun sosok mereka sangat berharga dalam hidupku.

"[Suara Bu Dari yang berasal dari dapur] Besok warung libur 2 hari ya Kay? Ibu ada urusan yang perlu diurus." Kata beliau. "Siap Komandan", jawabku yang diiringi tawa oleh Bu Dari. Aku memang suka berkata konyol ketika di sini, untuk mencairkan suasana. Aku juga sering bercanda dengan beberapa pembeli, agar mereka semakin sering untuk membeli dagangan Bu Dari.

Entah mengapa, banyak pembeli yang merasa cocok denganku ketika Aku layani mereka. Keberadaanku di ini cukup tenar, banyak orang mengenal namaku. Atau mungkin karena suatu hal lain? Kebanyakan dari mereka selalu memberikan pujian kepadaku, mulai dari orang yang humoris, berparas menawan, berpostur tinggi, berkulit putih, dan berbau wangi. Ya, Aku memang selalu memakai lotion tubuh agar badanku harum. Hal ini Aku lakukan juga karena Aku adalah seorang penjual jasa, yang artinya harus memperhatikan penampilan agar pembeli merasa nyaman ketika sedang Aku layani.

Setelah seharian bekerja, Aku pun pulang. Tapi sebelum itu, Bu Dari memberikanku 2 liter beras, kg telur, dan beberapa bumbu dapur. Beliau memberiku bahan pangan karena esok warung libur selama 2 hari. Beliau begitu perhatian kepadaku, sehingga memberikan sembako untuk kebutuhanku selama 2 hari. Sungguh malaikat bagiku, kehadiran sosok Bu Dari begitu membantuku dalam bertahan hidup. Aku pun mengucapkan terima kasih, dan langsung bergegas pulang ke rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun