Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Genealogi Demokrasi

18 Oktober 2019   05:54 Diperbarui: 18 Oktober 2019   14:25 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benar memang, politik itu kotor. Benar memang, tidak ada yang namanya musuh abadi dalam politik. Semua orang yang bertarung dalam ajang pemilihan umum pastilah mempunyai kepentingannya masing-masing, mereka harus menjalankan agenda yang telah disusun dan disepakati bersama. 

Sampai saat ini saya heran, kenapa harus ada banyak parati politik di Indonesia? kenapa tidak dibatasi saja? Misal, maksimal 5 partai politik. Kenapa saya bisa terheran? Masyarakat selalu dibingungkan ketika pemilihan umum. 

Di dalam kertas suara terdapat banyak calon, dari banyak partai. Jika di dalam negara Demokrasi tidak boleh ada larangan pembatasan yang saya maksud, saya rasa mereka masih setengah matang dalam memahami apa itu Demokrasi. 

Menurut saya pribadi, Demokrasi jika diartikan sak penake dewe, tentu akan menghasilkan sebuah fenomena yang juga di luar prediksi. 

Dengan banyaknya partai politik, iklim Demokrasi di Indonesia tidak lagi efisien dan efektif. Kenapa? Tidak efisien karena negara harus menggelontorkan puluhan bahkan ratusan miliar ketika musim politik. 

Tidak efektif karena dengan banyaknya calon/kandidat yang maju, akan semakin membuat masyarakat kebingungan dalam menentukan pilihan.
Selain tidak efisien dan efektif, iklim Demokrasi di Indonesia juga tidak lagi kondusif. Coba lihat, menjelang masa pemilihan umum, antar partai saling menyerang. 

Saling menyerang jika yang diserang visi dan misi hingga arah politik masing-masing partai, tentu hal itu patut diapresiasi. Tapi lihatlah, antar kandidat dan juga antar partai menyerang lawan mereka secara personal. Ad hominem dan Straw men yang paling sering muncul pada masa kampanye. 

Prabowo itu penjahat HAM! Jokowi itu bersih dan tidak mempunyai beban masa lalu. Prabowo didukung oleh kelompok ekstrimis! Jokowi didukung oleh kelompok pemersatu bangsa. Jokowi itu plonga plongo! Prabowo gagah dan berwibawa. Jokowi itu boneka Megawati! Prabowo itu tegas dan cinta NKRI. 

Beberapa contoh ad hominem dan straw men yang baru saja saya sebutkan adalah contoh nyata yang terjadi. Imbasnya? Iklim Demokrasi di Indonesia tidak lagi kondusif. Cebong dan Kampret saling adu mulut, saling menyerang, membuat dunia maya seolah sedang dalam keadaan yang genting. Berbagai narasi dan spekulasi selalu dibuat untuk menggiring opini publik. Lalu muncullah kalimat Lesser Evil guna mengintervensi Golputers.


Lesser Evil ini dianalogikan, Prabowo itu jahat sekali, sedang Jokowi tidak terlalu jahat. Maka dari itu, pilihlah Jokowi agar mencegah yang jahat sekali berkuasa. Tapi coba lihat faktanya, Jokowi mulai merangkul partai-partai yang dulunya sebagai lawan, menawarkan jabatan untuk kader dari masing-masing partai. 

Dan yang terbaru? Prabowo merapat ke kubu Jokowi dengan isu "menjadi Menteri Polhukam". Prabowo itu 'jahat sekali', kenapa bisa Jokowi merangkul Prabowo? Inilah alasan saya kenapa saya benci sekali dengan orang-orang yang fanatik. 

Cebong menyematkan sebutan 'Prabowo jahat sekali' pada masa kampanye, sehingga mengarahkan masyarakat dengan kalimat Lesser Evil. Cebong menyerang secara membabi buta sosok Prabowo yang dinilai jahat sekali ketika masa kampanye. 

Faktanya?  Cebong dipaksa menjilat ludah mereka sendiri dengan bergabungnya Prabowo dalam kabinet pemerintahan Jokowi. See? Inilah yang dinamakan politik.

Rumitnya politik tidak hanya perkara di atas. Berita terbaru menyebutkan bahwa para Kiai menyuruh Cak Imin untuk mengamankan 6 kursi menteri yang harus diisi oleh kader PKB, gila kan? Kalau begini keadaannya, pantaslah saya menyebut bahwa Demokrasi di Indonesia tidak efisien, efektif, dan kondusif. 

Saya sendiri pernah mendapatkan tawaran dari bebrapa akun instagram pada tahun 2017 -- 2019, yang intinya menawari saya untuk bergabung ke salah satu partai. Ada juga yang dengan polosnya mengirimkan pesan "Bang Hara, ayok kita bikin partai politik." Dalam hati saya, "What? Hell, no!", saya tidak tertarik sama sekali dengan yang namanya partai politik dan segala 'kesintingan' yang mengelilinginya.


Bangsa ini sudah 74 tahun merdeka, seharusnya bangsa ini bisa lebih baik dari era sebelumnya. Tetapi pada faktanya, Demokrasi di Indonesia semakin sinting. Saking sintingnya, sekarang terjadi pengawasan di mana-mana. Contoh terbaru saja, ASN bisa kena pecat hanya karena menyukai, membagikan, dan juga membuat konten yang tujuannya mengkritik pemerintah. 

Saya sendiri pernah membuat tulisan yang berjudul Demokrasi Ala Tukang Copet dan Reformasi Ala Tukang Begal, fenomena seperti sekaranglah yang saya maksud dalam dua tulisan itu. Pasti kalian tahu apa itu "Tukang Copet", kan? Tukang copet mengambil/merampas yang bukan miliknya. Begitu juga dengan "Tukang Begal", tukang begal segan untuk membunuh korbannya agar memiliki yang bukan miliknya. 

Dan lihatlah sekarang? Elit politik yang berkuasa merampas hak rakyat, bahkan segan untuk membunuh rakyat seperti yang menimpa kawan-kawan mahasiswa, pelajar, aktivis, dan juga petani yang menyampaikan aspirasi mereka masing-masing. Inikah yang disebut dengan Negara Demokrasi? Masihkan efisien, efektif, serta kondusif? Hell, no!

Genealogi secara umum berarti sebuah kajian penelusuran berdasarkan sejarahnya. Tulisan ini berjudul Genealogi Demokrasi. Lalu, bagaimana penelusuran sejarahnya? Saya beri jawaban singkat dan sederhana. Demokrasi adalah sebuah sistem yang dibuat oleh Pemikir Yunani yang sedang depresi. Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun