Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membedah Konsep Berpikir Manusia

27 Juli 2019   21:02 Diperbarui: 27 Juli 2019   21:18 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Hara Nirankara

Katakanlah aku menjalin hubungan dengannya sudah lima tahun lebih. Tetapi di tahun keempat, aku menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak aku dapatkan sebelumnya. Aku [seorang wanita] yang telah memberikan segala yang aku punya untuk membuat kekasihku bahagia. Tetapi yang namanya menjalin hubungan, lambat laun akan muncul rasa bosan. Tetapi aku sama sekali tidak menginginkan kebosanan itu. 

Dan tibalah saat itu, di mana aku mulai dekat dengan seseorang karena perkara yang tidak aku rencanakan. Aku dan dia biasa bersama, melakukan sesuatu yang memang sudah menjadi tanggung jawab kami berdua. Sering kami bertukar cerita mengenai kehidupan, dan juga tentang asmara masing-masing. Dia [lelaki], dia selalu membuatku merasa nyaman, selalu melindungi, dan mampu mengimbangi sikapku yang kadang di luar dugaan. 

Tiap kali aku ada masalah, dialah yang aku jadikan pelampiasan. Terkadang aku memarahinya, memusuhinya tanpa alasan yang pasti. Namun dia tetap sabar, mengerti kalau diriku sedang tidak baik-baik saja.

Dia itu kebalikannya dari kekasihku. Di saat aku marah, aku pendam sendiri. Tidak pernah sedikitpun aku berkata kasar kepada kekasihku. Aku selalu diam ketika kekasihku yang berbalik marah, bahkan marah atas apa yang tidak aku perbuat. Aku yang selama ini mengimbangi kekasihku, selalu membuatnya merasa nyaman. Dua perbedaan yang saling bertolak belakng yang akhirnya memicu terciptanya sebuah rasa kepada dia yang bukan kekasihku. 

Entah mengapa aku selalu merasa sakit hati jika mengetahui dia yang bukan kekasihku sedang bersama orang lain. Bahkan hanya sekedar bertegur sapa. Tetapi rasanya sangat menyakitkan bagiku, mereka terlihat akrab di depan mataku. Dalam diam aku marah. Tapi aku sadar, dia bukanlah kekasihku.

Perasaan yang tercipta itu semakin menggunung, semakin meluas, dan semakin dalam menancap. Aku mengalami pergulatan batin yang sangat luar biasa. Banyak. Ada banyak sekali tragedi di mana aku harus memilih. Dan akhirnya aku memilih untuk bersama dengan dia yang  bukan kekasihku, ketimbang dengan kekasihku sendiri. Entah mengapa aku merasa sangat bahagia ketika bersamanya. Hari-hariku seakan penuh arti dan kebahagiaan. Sedangkan ketika aku bersama dengan kekasihku. Aku merasa biasa-biasa saja.

Aku pikir aku mulai jatuh cinta dengan dia yang bukan kekasihku. Tetapi logika berulang kali berontak. Berkata bahwa apa yang aku rasa adalah sebuah kesalahan. Tidak seharusnya aku menaruh rasa dan berharap kepada orang lain. Tidak seharusnya begitu. Tubuh ini akan berlumur dengan najis jika aku meninggalkan kekasihku demi dia yang hanya sebagai teman baik. Aku tidak sanggup jika harus melihat kekasihku bersedih. Tapi aku sendiri teramat sedih jika harus melupakan dan membenci dia yang telah membuatku merasa hidup serta mempunyai arti.

Kepala ini terasa sakit. Pusing. Hingga akhirnya beberapa kali aku terkapar karena pergulatan batin yang teramat menjengkelkan ini. Hingga pada akhirnya aku bercerita kepada temanku yang lain saking tidak kuatnya aku menahan segala kontradiksi antara logika dan perasaan.

Aku ingat betul. Temanku itu berbicara katanya perasaan yang timbul di dalam hatiku karena aku dan dia yang bukan kekasihku sering bersama. Ya, memang betul. Aku menghabiskan banyak waktu dengan dia ketimbang dengan kekasihku. Perasaan yang timbul karena hal itu sangat wajar terjadi. Apa yang tidak aku temukan pada kekasihku, ada pada orang lain. Dan semakin aku merasakan nyaman, perasaan itu akan semakin kuat. Tapi aku harus berpikir. Aku harus menggunakan logikaku untuk menentukan mana yang benar, dan mana yang salah.

Aku salah jika aku menuruti perasaanku dan akhirnya bersama dengan orang lain. Akan sangat salah karena hal serupa bisa terjadi di lain waktu. Terus berulang. Berulang. Aku akan teramat salah jika meninggalkan kekasihku yang sama sekali tidak mempunyai salah. Aku akan sangat salah jika membalas kesetiaannya, pengorbanannya, semua kasih sayang yang ia berikan dengan sebuah pengkhianatan. Maka aku harus mengingkari perasaanku sendiri. 

Aku harus menuruti logikaku yang sudah susah payah menjelaskan semuanya. Tentang mana yang salah, dan mana yang benar. Logikaku menyuruhku untuk pergi menjauh. Ya, menjauhi dia yang bukan kekasihku agar perasaan yang tercipta perlahan hilang. Aku akan benar jika harus menjauhi dia yang bukan kekasihku. Karena memang aku seharusnya tetap menjaga perasaanku untuk kekasihku yang selama ini berjuang demi membahagiakanku. Aku tidak ingin mengkhianati kesetiaannya. Tidak ingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun