Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomika Urban Farming dalam Ketahanan Pangan Masyarakat di Perkotaan

23 Juni 2020   08:43 Diperbarui: 23 Juni 2020   18:47 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Naufal  Mohamad Firdausyan (Ilmu Ekonomi 2019), Staf Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA UGM

Pangan sangat erat kaitannya dengan hajat hidup orang banyak dan tidak akan lepas dari kehidupan manusia. Maka dari itu, kebutuhan pangan pun akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi manusia. Thomas Robert Malthus, seorang ekonom mazhab klasik, menyebutkan sebuah postulat dalam bukunya An Essay on the Principle of Population bahwa pertumbuhan penduduk akan mengikuti pola deret geometris, sedangkan pertumbuhan produksi pangan (Malthus menyebutnya sebagai subsistence for man) akan mengikuti pola deret aritmatika (Malthus 1798, 6).  Teori ini mendasari proposisi yang menyatakan bahwa pertumbuhan populasi manusia akan melampaui kapasitas produksi pertanian di bumi ini. Hal ini disebut sebagai Malthusian Catastrophe.

Pengujian secara empiris juga pernah dilakukan oleh Ashraf dan Galor (2008) terhadap teori Malthus selama periode pra revolusi industri. Hasil penelitian tersebut menunjukkan secara signifikan bahwa variasi kepadatan populasi dalam jangka panjang akan mencerminkan pula variasi produktivitas lahan dan aspek biogeografi lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin besar pertumbuhan populasi manusia, mau tidak mau produktivitas lahan akan terus dipacu meningkat mengimbangi pertumbuhan populasi. Namun, apakah proses ini cepat dan berjalan secara sederhana?

Mengapa Perlu Urban Farming?

Masyarakat urban mengalami masa yang sulit apabila terjadi guncangan pada pasar pangan (khususnya akibat kendala distribusi), mengingat kota bergantung pada distribusi pangan dari daerah lain yang mengalami surplus. Walaupun pendapatan masyarakat di kota cenderung lebih tinggi daripada wilayah rural, hal ini ternyata tidak menjamin masyarakat kota mampu menjangkau sumber-sumber pangan. Studi yang dilakukan secara empiris pada periode food price crisis di tahun 2007 – 2008 memberikan gambaran atas aspek keterjangkauan tersebut. Di beberapa negara berpendapatan bawah, kejadian kelaparan pada wilayah desa dan kota cenderung sama, khusus beberapa negara justru kejadian di kota cenderung lebih tinggi daripada di desa (Cohen dan Garret 2009).

dokpri
dokpri

Hal menarik dapat ditemukan di wilayah rural. Studi yang sama menyebutkan bahwa kenaikan harga komoditas pangan ternyata tidak terlalu berpengaruh bagi masyarakat desa dan secara empiris pula terjadi saat food price crisis di tahun 2008.  Efek ini terjadi karena masyarakat desa merupakan produsen pangan neto yang memiliki lahan produktif dan persediaan pangan protein (ternak) sehingga lebih tahan dari guncangan pasar—dalam kasus ini adalah krisis harga pangan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa wilayah kota memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mengalami krisis pangan daripada wilayah rural.

Melihat data ketahanan pangan di Indonesia, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Data yang dirilis oleh Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi komoditas beras. Di daerah perkotaan misalnya, porsi konsumsi beras mencapai 81% dari konsumsi padi-padian atau 93.2 kg/kapita/tahun. Nilai ini meningkat drastis dibandingkan tahun 1954 yang saat itu hanya sebesar 53,4% dari total konsumsi pangan per kapita per tahun. Diversifikasi konsumsi karbohidrat oleh masyarakat Indonesia dinilai belum berhasil diterapkan. Negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia dan Brunei bahkan mampu menekan angka konsumsi beras lebih rendah daripada Indonesia (OECD 2018); mengindikasikan keberhasilan pada diversifikasi pangan di masing-masing negara tetangga tersebut. 

Di sisi lain, komoditas sayuran dan buah-buahan menempati urutan kedua sebagai komoditas pangan yang dikonsumsi paling banyak oleh masyarakat Indonesia. Pada periode 2013 – 2018, pertumbuhan konsumsinya di wilayah perkotaan mencapai 1,43% setiap tahunnya. Hal ini masih mampu diimbangi oleh pertumbuhan produksinya di angka 3,4% pada periode yang sama (Kementerian Pertanian 2019). Demikian pula ada kesempatan bagi negara untuk melakukan ekspor terhadap surplus produksi komoditas ini yang dihasilkan oleh petani. Namun, pertumbuhan produksi dan konsumsi sayuran dan buah-buahan perlu dibandingkan pula dengan kebutuhan lahan, terutama untuk produksi dalam jangka panjang. Kondisi ini berkaitan dengan konsep ekstensifikasi dalam pertanian.

dokpri
dokpri
Apakah ekstensifikasi melalui penambahan luas lahan pertanian masih memungkinkan untuk menjaga kestabilan produksi? Sayangnya, luas lahan pertanian di Indonesia cenderung menurun. Data Kementerian Pertanian menunjukkan luas lahan pertanian Indonesia rata-rata mengalami pertumbuhan negatif di periode 2013 – 2018. Penurunan tertinggi terjadi pada jenis lahan sawah irigasi sebesar 4,26%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan ini disebabkan oleh kebutuhan lahan untuk tujuan nonproduksi pertanian sehingga terjadi konversi lahan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan pertanian ini di antaranya harga lahan (Harini dkk. 2012), jumlah penduduk (Dwipradnyana dkk. 2015), kebutuhan untuk tempat tinggal (Budi 2011),  hingga kebijakan pemerintah (Hidayati 2013).

Walaupun pertumbuhan produksi pangan lebih tinggi dari pertumbuhan konsumsinya, keberlanjutan produksi belum dapat terjamin. Model ekstensifikasi dengan demikian belum cukup untuk menjaga ketahanan pangan dan kesinambungan produksi pangan. Intensifikasi, tanpa perlu menambah faktor produksi, adalah alternatif yang dapat dilakukan di saat produksi belum terjaga keberlanjutannya akibat konversi lahan pertanian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun