Generasi kelahiran 1995-2010 yang akrab kita kenal sebagai Gen Z, adalah generasi yang tumbuh di dunia yang mempertontonkan kesenjangan tajam antara realita dan ilusi kesuksesan. Seiring memasuki dunia dewasa, kesenjangan ini menciptakan lingkungan yang serba cepat dan penuh tuntutan, salah satunya dalam persoalan finansial. Gen Z menghadapi berbagai standar kesuksesan finansial yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, ada tuntutan budaya keluarga seperti "lulus cepat, langsung kerja, dan kirim uang ke rumah" yang sering bertabrakan dengan realita ekonomi yang sulit. Lalu di media sosial, Gen Z dibanjiri dengan “highlight” kesuksesan finansial orang lain. Yang terlihat hanya kesuksesan instan, seperti bisnis yang langsung laris, gaji pertama sudah bisa beli mobil, atau liburan ke luar negeri, tanpa menampilkan perjuangan dan privilege di baliknya. Algoritma platform seperti Instagram dan TikTok secara tidak sadar menciptakan standar tidak realistis yang membuat banyak Gen Z merasa gagal padahal sebenarnya mereka sedang “membandingkan apel dengan jeruk”.
Hasilnya? Munculah fenomena Financial Anxiety, atau dapat kita sebut sebagai kegelisahan finansial. Ini adalah kondisi ketika seseorang mengalami kecemasan berlebihan terhadap keadaan keuangan dan target finansialnya. Banyak Gen Z yang merasa "terlambat" atau "kurang cukup" hanya karena belum mencapai standar yang sebenarnya tidak realistis, seperti pola pikir yang menganggap "jika belum kaya di usia 25 tahun, berarti gagal". Pola pikir tidak sehat ini menjadi salah satu faktor perusak kesehatan mental dan penyebab meningkatnya kasus depresi di kalangan muda ini. Generasi yang seharusnya produktif justru terjebak dalam perbandingan sosial yang tidak sehat. Berbagai fenomena negatif pun mulai dinormalisasi pada Gen Z, mulai dari : rasa bersalah ketika memprioritaskan kebutuhan pribadi di atas tuntutan keluarga, memaksakan diri bekerja side hustle hanya agar tidak disebut "tertinggal", hingga quiet quitting di pekerjaan karena merasa usaha mereka tidak sebanding dengan pencapaian orang lain. Semua ini adalah dampak nyata dari Financial Anxiety yang semakin meluas di kalangan Gen Z.
Melihat dari kacamata konseling, masalah Financial Anxiety Gen Z ternyata membutuhkan pendekatan khusus yang sensitif terhadap budaya. Tantangan pertama justru seringkali datang dari konselor sendiri yang tanpa sadar terjebak dalam bias pribadi tentang "usia ideal" untuk mandiri secara finansial. Padahal, standar ini sangat variatif tergantung latar belakang budaya dan kondisi ekonomi konseli. Seorang konselor yang dibesarkan di keluarga menengah urban mungkin menganggap wajar jika anak usia 22 tahun masih menerima bantuan orangtua, sementara bagi konselor dari budaya tertentu, kondisi yang sama bisa dianggap sebagai sebuah "keterlambatan".
Dalam konteks inilah Teori Kesadaran Budaya dalam konseling multibudaya menjadi relevan untuk dipahami. Teori ini mengingatkan konselor untuk memahami bagaimana nilai-nilai budaya konseli membentuk persepsi mereka tentang kesuksesan finansial. Misalnya, bagi konseli dari budaya Jawa, "mandiri finansial" mungkin berarti bisa membiayai orangtua, sementara bagi konseli urban mungkin berarti bisa hidup tanpa bantuan siapapun. Konselor perlu menanyakan pada konseli : "Menurut keluarga dan budaya Anda, seperti apa seharusnya pencapaian finansial di usia Anda sekarang?". Dengan tidak berpaku pada standar dan penilaian bias, konselor dapat membantu konseli menyadari budayanya sendiri dalam memandang kemandirian finansial, dan tidak kewalahan mengejar standar media sosial yang tidak realistis.
Lalu teori ini dapat diperlengkap dengan Pendekatan Konseling Berbasis Keberagaman. Alih-alih menggunakan solusi yang sama untuk semua konseli, dalam membantu Financial Anxiety Gen Z, konselor harus mampu beradaptasi dengan latar belakang unik dari masing-masing mereka. Dengan memperluas perspektif, konselor dapat menyadari bahwa tidak ada solusi satu-untuk-semua dalam masalah finansial, sehingga pemilihan teknik konseling dapat lebih sesuai dengan tiap konseli.
Berdasarkan kedua teori konseling multibudaya di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menghadapi krisis Financial Anxiety Gen Z, kurang lebih ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam konseling :
1. Konselor harus merefleksi bias pribadinya mengenai kesuksesan finansial sebelum membantu konseli.
2. Konselor dapat mengeksplorasi budaya dari sisi konseli, mulai dari budaya, kondisi ekonomi keluarga, hingga lingkungan sosialnya
3. Konselor kemudian membimbing konseli untuk memetakan ekspektasi finansial dari budaya keluarga, target pribadi, juga realitas ekonomi saat ini.
4. Berdasarkan pemetaan tersebut, konselor beserta konseli dapat menyesuaikan target konseling yang sesuai dengan kondisi konseli.