Selasa (1/4/2025) siang tepat pukul 14.03 wit mobil pick up berwarna hitam bergulir menuju ke desa Tawa kecamatan Bacan Timur, di susul tiga sepeda motor dengan kecepatan rendah.
Walaupun siang itu udara panas, dan sinar mentari menyengat kulit, namun mereka yang menumpangi mobil pick up tetap mengulas senyum, karena keinginan ke tempat wisata air panas pasca lebaran idul fitri akhirnya tercapai, terlebih istri dan putri saya yang berada di mobil pick up tersebut, karena berkali-kali bepergian ke pulau Bacan, baru kali ini mereka berkesempatan berkunjung ke tempat wisata  ikonik di kecamatan Bacan Timur tersebut.
Mobil mulai melaju menaiki tanjakan tinggi antara perbatasan desa Songa dan Tawa. Sementara di depan, ada sejumlah anak muda dari desa Wayaua Bacan Timur Selatan dengan sepeda motor yang saling berkejar-kejaran, agar cepat mencapai lokasi wisata.
Jarak yang ditempuh ke lokasi wisata dari desa Bibino berkisar kurang lebih 10 km, sehingga kendaraan dengan laju kecepatan 60 km/jam atau lebih, praktis cepat mencapai lokasi wisata.
Mobil pick up yang ditumpangi istri dan anak saya dan kerabatnya, serta sejumlah sepeda motor itu akhirnya tiba di lokasi wisata. Lokasi wisata air panas desa Tawa tidak berada di tengah-tengah desa Tawa, melainkan letaknya kurang lebih 3 km sisi selatan desa.
Dan' untuk mengetahui lokasi wisata memang sangat mudah, lantara jika perjalanan dari kecamatan Bacan Timur Tengah, maka dari kejauhan kita sudah dapat melihat sebuah gerbang/pintu masuk wisata air panas di sisi kanan jalan. Gerbang tersebut dibuat menggunakan bambu dan papan dengan cat kombinasi merah dan putih.
Karena lokasi wisata air panas berada di pantai, sehingga semua pengunjung harus menempuh jarak kurang lebih 70-80 meter untuk mencapai pantai. Dan' jalan yang dilewati adalah jalan setapak semen yang mulai rusak dilindas kendaraan.
Di lokasi parkiran kendaraan, mobil dan sepeda motor pengunjung terlihat diparkir dengan rapih di sisi utara dan selatan. Sementara untuk memasuki lokasi wisata hanya melewati satu pintu yang dijaga oleh pengelola wisata.
***
Dua gadis di pintu masuk mengulum senyum menyapa para pengunjung, sementara di dekat mereka, seorang pria paruh baya memakai topi koboi duduk menghadap ke pantai menyaksikan anak-anak yang berenang di pantai.
Dua gadis itu, menarik karcis masuk pada setiap pengunjung Rp 5000/orang dewasa, dan anak-anak dikenakan Rp 2.000/orang, sedangkan untuk parkiran pihak pengelola tidak memungut biaya. Gratis.
Siang itu, angin berembus menyapa pohon memancarkan hawa sejuk sepanjang pantai. Para pengunjung yang terlebih dulu berada di pantai mereka menempati 6 buah gazebo untuk meletakan barang bawaan mereka.
Sedangkan, pengunjung yang tidak kebagian gazebo terpaksa harus menggelar tikar untuk menaruh makanan dan minuman serta barang bawaan lainnya. Untuk pengunjung yang menempati gazebo dikenakan biaya Rp 35 ribu selama berada di pantai.
Berbeda dengan pantai di desa lainnya di Bacan Timur, Timur Tengah, dan Timur Selatan, kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara yang memiliki pasir berwarna hitam. Di pantai wisata air panas Tawa, pasirnya berwarna putih dengan hamparan pepohonan rindang sepanjang lokasi wisata, membuat suasana wisata air panas Tawa sangat sejuk.
Berkunjung ke wisata air panas Tawa bersama keluarga memang sangat tepat, lantaran anak-anak bebas bermain di pantai, sementara orang dewasa dapat memanfaatkan perahu sampan, untuk menikmati keindahan laut dan menyaksikan dari dekat pulau Gam Jaha (Kampung tenggelam) di sisi selatan pantai.
Selain itu, di sisi selatan pantai pada bebatuan, ada sebuah jembatan kayu yang dibangun untuk pengunjung menikmati pesona wisata pantai air panas, sambil mengabadikan momen dengan kamera ponsel atau kamera DSLR. Pada jembatan ini, dikenakan Rp 2.500/orang apabila memanfaatkan jembatan untuk ber-selfie atau menikmati pemandangan Gam Jaha.
Wisata pantai air tawa memang menghadirkan suasana jauh berbeda dengan wisata pantai lainnya di pulau Bacan. Pasalnya, para pengunjung tidak hanya memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh pengelola pantai, melainkan lokasi ini cukup dikenal karena di sisi selatan terdapat sejumlah titik yang mengeluarkan hawa panas di pesisir pantai yang menghadirkan suhu panas setara air yang digunakan untuk mandi melalui shower.
Setiap pengunjung di wisata air panas Tawa memang memiliki tujuan yang sama, yakni menikmati sensasi air panas di pantai untuk menghangatkan tubuh mereka.
Begitupun bagi yang menderita penyakit kulit (gatal-gatal) dapat melakukan terapi menggunakan air panas, terlebih yang menderita rematik serta stroke ringan.
Karena pasir di sepanjang pantai saat diinjak terasa hangat seperti disiram air panas, kondisi ini dirasakan oleh semua pengunjung, maupun yang tengah asyik berdiri di bibir pantai untuk merasakan sensasi hawa panas yang timbul dari dalam pasir.
Pantai air panas Tawa dikelola oleh dua kakak beradik Yesaskar Madito (53) dan Antonius Madito. Pembagian lokasi pantai berdasarkan luasnya lahan Perkebunan mereka, di sini terlihat lokasi yang dikelola Yesaskar jauh lebih bagus, karena hamparan pasir putih memanjang berkisar 100 meter.
"Kalau panjang pantai memang 200 meter, tapi yang berpasir hanya 100 meter," ujar Yesaskar.
Untuk titik air panas di wisata air panas memang terbagi menjadi tiga, yakni di lokasi pertama yang dikelola oleh Yesaskar Madito dan istrinya Evalina Loleo (51) dan di sisi utara dikelola Antonius Madito.
Sementara lokasi wisata air panas kedua yang juga sering didatangi pengunjung pada liburan akhir pekan yang dikelola oleh sang pemilik lahan. Sedangkan lokasi ketiga memang hingga kini belum ada jalan penghubung ke pantai.
Tempat Orang Menyembuhkan Penyakit
Air panas di pantai Tawa memang telah diketahui oleh warga di pulau Bacan pada puluhan tahun silam. Sehingga, lokasi ini sering didatangi oleh warga yang menderita penyakit gata-gatal dan Kusta.
Yesaskar Madito menceritakan, warga yang datang berobat dan berharap kesembuhan, sehingga bukan hanya sekadar melakukan terapi dengan menggunakan air panas, melainkan mereka membawa uang koin untuk dilempar ke laut sebagai ritual untuk kesembuhan penyakit mereka.
"Rata-rata mereka yang datang melakukan terapi di air panas, dan penyakit mereka sembuh. Sehingga, informasi tersebut mulai tersebar membuat orang-orang menilai air panas Tawa sangat tepat untuk terapi penyakit kulit dan Kusta," terangnya, Selasa (1/4/2025).
Karena ramai dikunjungi untuk berobat, maka di lokasi air panas kemudian dinamai Jiko Pado-Pado. Kata Jiko yang artinya Tanjung, sementara Pado-Pado berarti Kusta.
Hanya saja, kata Yesaskar, penyebutan Jiko pado-pado lebih familiar bagi masyarakat Tawa dan desa tetangga, sementara masyarakat lainnya lebih mengenal pantai air panas.
"Biasanya yang datang pukul 07 pagi yakni mereka yang melakukan terapi, sementara tujuan untuk menikmati pesona pantai, lebih banyak datang pada pukul 09 pagi atau siang hari," terangnya.
Selain bertujuan menikmati keindahan pantai air panas, para pengunjung kata Yesaskar juga kerap membawa telur ayam untuk menguji hawa panas di bibir pantai yang berada di sisi selatan pantai. Karena, di posisi inilah hawa panas sangat kuat bila dibandingkan pada bibir pantai yang berhadapan langsung dengan pintu masuk ke pantai.
"Di bagian selatan pantai memang hawa panasnya begitu kuat, jadi pengunjung yang meletakan telur ke dalam air, tak berlangsung lama telur pun matang," katanya.
Kondisi inilah kata Yesaskar membuat pemerintah memutuskan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada 2024 lalu dengan memanfaatkan panas bumi di desa Tawa.
"Informasi yang kami dapatkan, PLTU di desa Tawa merupakan program strategis nasional yang dikerjakan Perusahan Listrik Negara (PLN)," ucapnya.
Resmi Dikelola Pada Tahun 2014
Sebelumnya lokasi ini belum begitu dikenal, lantaran belum ada akses jalan masuk ke pantai. Pemilik lahan sekaligus pengelola wisata pantai air panas Tawa, Yesaskar Madito mengatakan pada awalnya tidak sedikit pun terbersit ide untuk menyulap lokasi kebunnya menjadi tempat wisata.
Dia dan istrinya memang hanya konsentrasi sebagai petani, sehingga pada akhir pekan, mereka hanya menghabiskan waktu di kebun, kemudian kembali menjalani rutinitas di rumah.
Sebagai seorang petani, Yesaskar diangkat oleh dinas pertanian Halmahera Selatan sebagai ketua Federasi Pertanian desa Tawa Bacan Timur. Menjadi ketua Federasi Pertanian, Yesaskar makin tambah giat mengelola lahan perkebunan.
Dan' tepat pada awal tahun 2014, ia bersama ketua federasi petani di pedesaan terpilih diikutkan oleh Dinas Pertanian Halsel untuk melakukan studi banding ke kota Malang Jawa Timur.
Berada di kota Malang dan berkunjung ke wisata Batu, ayah empat anak ini mulai terinspirasi dengan pengelolaan wisata Batu. Di sini, ia mulai tertarik untuk mengelola lahan perkebunannya menjadi sebuah destinasi wisata pantai.
"Setelah kembali pulang ke kampung, dengan bermodal cangkul dan sekop saya langsung bekerja membuat jalan setapak menuju ke pantai, setelah jalan setapak rampung, saya bersama istri masih membenahi banyak hal agar pantai terlihat bersih dan rapih," katanya.
Perlahan tapi pasti, pantai air panas disulap oleh Yesaskar dan istrinya menjadi bersih dan rapih, terlebih keberadaan puluhan pohon di pantai menambah indahnya pantai. Kondisi inilah yang membuat warga mulai tertarik untuk datang menikmati pesona pantai air panas.
Yesaskar mengungkapkan, saban hari mereka berada di pantai untuk memastikan kebersihan pantai, serta melayani para pengunjung. Untuk itu, dia memutuskan untuk membangun rumah papan di lokasi wisata untuk menjaga pantai.
Rumah tersebut, letaknya persis di dekat tempat parkir kendaraan para pengunjung. Karena, di pantai sangat sulit mendapatkan air bersih, sehingga air bersih pun didatangkan dari rumah lalu menjual kepada pengunjung saat mereka memanfaatkan untuk mandi.
"Kami memutuskan untuk tidur di lokasi wisata pada hari senin sampai sabtu, sementara di malam minggu kami kembali ke rumah untuk melaksanakan ibadah pagi hari di gereja," ujarnya
"Selain air untuk mandi dan minum, berbagai makanan ringan, serta kelapa muda juga kami sediakan," imbuhnya.
Walaupun sebagai seorang non-muslim, Yesaskar berjanji jika iuran dari karcis pengunjung telah memungkinkan, praktis dia bakal membangun musala di lokasi wisata, serta menambah toilet.
Rencana membangun musala, kata Yesaskar, lantaran pengunjung di lokasi wisata air panas lebih dominan kaum muslim. Sehingga, penyediaan musala merupakan pilihan yang tepat, agar jika tibanya waktu salat para pengunjung dapat melaksanakan salat.
Begitupun dengan fasilitas umum seperti toilet, hingga kini baru tersedia 2 buah toilet darurat untuk pengunjung. Toilet tersebut tanpa atap, sehingga jauh dari kata memuaskan. Untuk itu, dia berjanji bakal membangun toilet agar pengunjung merasa makin nyaman.
"Selain musala dan toilet, saya berencana membangun bangunan berukuran sedang untuk dijadikan gedung pertemuan, jika lokasi wisata dikunjungi oleh tamu-tamu penting dari pemerintah kabupaten atau dari pusat," jelasnya.
Air Panas dan Legenda Gam Jaha
Di balik keindahan dan sensasi air panas di sepanjang pantai yang dijadikan lokasi wisata, ternyata menyimpan cerita legenda yang cukup populer bagi warga di desa Tawa maupun masyarakat  di kecamatan Bacan Timur.
Cerita rakyat yang hingga kini dipercaya oleh masyarakat tersebut, yakni Gam Jaha, Gam yang berarti kampung sementara Jaha yang artinya tenggelam. Seperti dituturkan Yesaskar Madito, konon di era kesultanan Bacan dahulu kala, ada sebuah perkampungan di pesisir pantai.
Karena ulah seorang warga, sehingga membuat kampung tersebut mendapat kutukan hingga tenggelam. Menurut cerita yang disampaikan oleh Yesaskar berdasarkan penuturan para tetua di desa Tawa, bahwa awal mula hingga desa tersebut mendapat kutukan karena berawal dari tindakan seorang warga yang menodai putrinya.
"Menurut cerita yang disampaikan oleh para tetua di kampung, saat itu masyarakat belum memeluk agama. Walaupun begitu, kehidupan masyarakat kala itu, sangat tahu jika mereka melakukan hal-hal yang dianggap bertentangan adat dan tradisi, maka mereka bakal mendapat sanksi atau teguran langsung dari alam," katanya.
Jadi, lanjut dia, ketika itu, masyarakat membuat acara (pesta) di desa, sehingga seorang warga mengkonsumsi minuman tradisional saguer (minuman yang diolah dari pohon enau), ia kemudian mabuk dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat, yakni menodai putri kandungnya.
Tindakan tersebut membuat sang putrinya murka, ia merasa malu lantaran kesuciannya telah direnggut oleh ayah kandungnya sendiri. Sehingga, ia mengancam kepada ayahnya bahwa ia tidak ingin melihat wajah ayahnya hingga mati.
Merasa gusar dengan tindakan yang dilakukan ayah kandungnya, si putri hendak berlari dari kampung untuk pergi menjauh selamanya, agar tidak lagi melihat wajah sang ayahnya, lantaran  ia merasa sangat malu untuk tetap berada di kampung.
Saat si putri hendak pergi, tanpa dinyana datanglah musibah yang menenggelamkan kampungnya. Kampung tersebut, sebagian tenggelam dan tak terlihat lagi, sementara sebagiannya menjadi pulau kecil yang kini disebut Gam Jaha.
Di pulau ini kemudian tersaji beragam keunikan yang kerap disaksikan oleh para nelayan di wilayah Bacan Timur. Keunikan tersebut seperti dituturkan Yesaskar, bahwa saat mereka pergi melaut untuk mancing ikan di dekat pulau Gam Jaha kerap menemukan kejadian yang secara akal sulit diterima.
Seperti sering mata kail mereka mengait peralatan dapur di dalam laut di seputaran pulau Gam Jaha, kondisi ini diakui Yesaskar pernah ia alami saat mencari ikan menggunakan perahu di dekat pulau Gam Jaha.
"Biasanya para nelayan yang melaut di dekat Gam Jaha jika belum mendapat ikan, dan mereka melontar keluhan, maka mereka pasti menemui kejadian-kejadian unik," ujarnya.
"Pernah saya kira ikan sedang makan umpan di mata  kali saya, ternyata mata kail mengait gata-gata (capitan) bambu," di dekat pulau," tambahnya.
Kejadian yang dialami Yesaskar juga dialami oleh warga desa Bibinoi Bacan Timur Tengah, Jamal Abdul Salam (61), dia menceritakan bahwa suatu kali ia merasa bahwa ia mendapat ikan besar di dekat pulau Gam Jaha, karena tali pancing ditarik kuat ke dasar laut seperti ikan Tuna menarik umpan.
Karena tarikannya begitu kuat, sehingga tali pancing sebanyak dua rol dia membiarkan terus meluncur ke dasar laut dan menyisakan ikatan terakhir di klotok gulungan. Dan' merasa bahwa ada hal yang aneh, maka ia terus menarik tali pancing, ternyata yang ditarik bukan ikan, melainkan sebuah benda berukuran kecil seperti lidi sate.
"Awalnya saya mengira bahwa saat itu saya pasti mendapat ikan yang jauh lebih besar, dia terus menarik tali pancing seperti layaknya ikan tuna. Namun, saat saya menarik ke perahu padahal sebuah benda kecil sejenis lidi sate," kenangnya.
Menurut dia mencari ikan di dekat pulau Gam Jaha memang sulit mendapat ikan, justru itu apabila orang yang mendapat ikan pasti dibilang bernasib baik. Sebab, lanjut dia, rata-rata para nelayan di Bacan Timur pasti memiliki cerita yang hampir sama persis jika mencari ikan di seputaran pulau Gam Jaha.
"Dari kejadian yang dialami para nelayan, sehingga mereka meyakini bahwa cerita soal tenggelam sebuah kampung memang benar adanya, berdasarkan temuan-temuan alat dapur saat mencari ikan," tuturnya.
Dia menjelaskan, pulau Gam Jaha juga menyajikan keunikan yang jauh berbeda dengan pulau-pulau kecil yang pernah ia jumpai. Pasalnya, di bibir pulau tidak terlihat pasir dan bebatuan layaknya pulau kecil pada umumnya.
"Dari kejauhan, jika pertama kali kita melihat pasti mengira bahwa di bibir pulau Gam Jaha terdapat hamparan pasir maupun bebatuan. Tapi begitu mendekat tidak terlihat. Jadi, sisi lain keunikan pulau Gam Jaha terletak di situ (tidak ada pasir dan batu di bibir pulau)," jelasnya.
Kejadian yang ia alami, juga pernah dialami oleh salah satu kerabatnya di desa Bibinoi saat mencari ikan di dekat pulau Gam Jaha, yakni tali pancingnya ditarik begitu kuat ke dasar laut dan ia mengira bahwa yang ditarik adalah ikan. Namun, yang didapat ternyata sebuah sendal.
"Memang banyak kejadian yang sulit diterima logika jika mencari ikan di dekat pulau Gam Jaha," cetusnya.
Selain keunikan tersebut, seperti dijelaskan Yesaskar Madito, temuan hawa panas di pesisir pantai juga dirasa sangat unik. Pasalnya, titik hawa panas hanya terdapat pada lokasi yang diyakini sebagai bekas kampung yang tenggelam tersebut. Lokasi hawa panas memang kini secara geografis berada di wilayah desa Tawa Bacan Timur dengan jarak kurang lebih 2 sampai 3 km di sisi selatan desa Tawa.
Tapi, untuk pesisir pantai desa Tawa atau tepat di depan desa tidak ada titik hawa panas layaknya di bekas kampung tenggelam tersebut. Jadi, menurut dia, lokasi hawa panas jika dilihat dari laut, memang berada di perbatasan antara desa Songa Bacan Timur Tengah dan desa Tawa Bacan Timur.
Karena keunikan tersebut, menurut para tetua di desa Tawa sebagaimana dituturkan Yesaskar, bahwa titik pusat hawa panas di pantai merupakan efek dari tenggelamnya sebuah perkampungan pada dahulu kala.
"Iya, para tetua di kampung kami (desa Tawa) meyakini hal itu, bahwa dari tenggelamnya perkampungan sehingga menghadirkan hawa panas," katanya, secara menjelaskan bahwa pandangan para tetua di desa Tawa berdasarkan pengamatan non-ilmiah, yang merujuk pada cerita legenda.
Dia mengatakan, untuk mengetahui secara jelas terkait titik hawa panas di depan pantai khususnya di laut, harus membutuhkan penelitian agar nantinya menyajikan data secara ilmiah. Â Karena, kata dia, hingga sejauh ini, warga di desa Tawa hanya mengetahui hawa panas berada pada tiga lokasi.
Lokasi pertama, lanjut dia, berada di wisata air panas atau dikenal dengan Jiko Pado-Pado (Tanjung Kusta), disebut demikian karena orang yang memiliki penyakit kusta sering berobat di tempat ini.
Kemudian lokasi kedua disebut Jiko Kapita (Tanjung Panglima Perang) penyebutan demikian karena menurut Yesaskar, di era kesultanan Bacan dahulu kala, tanjung ini pernah manfaatkan oleh panglima perang kesultanan Bacan untuk mengusir penjajah.
"Kalau titik Hawa panas tertinggi berada di Tanjung Boki atau Tanjung kucing, disebut air panas ketiga, yang letaknya berdekatan dengan desa Songa Bacan Timur Tengah," jelasnya.
Yesaskar bilang, terkait legenda Gam Jaha memang belum begitu terkenal seperti cerita rakyat Tolire besar maupun Tolire kecil di kota Ternate. Untuk itu, penuturannya tentang legenda Gam Jaha hanya berdasarkan cerita para tetua di kampungnya.
Sehingga, ia menyarankan untuk mengetahui cerita sesungguhnya dari pulau Gam Jaha, harus melakukan riset secara mendalam, agar nantinya dapat mengungkap fakta-fakta ilmiah dan kemudian mengkomparasikan dengan hal-hal yang diyakini sebagai fakta oleh masyarakat hingga saat ini.
"Yang pasti bahwa di pulau Gam Jaha, memang menyajikan berbagai keunikan, serta hal-hal yang dianggap sangat supranatural," pungkasnya. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI